Sunday, August 18, 2013

Main Saham ala Intelligent Investor - The Investor & Inflation

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 1, dan mengacu pada Bab 2: The Investor & Inflation, hal 47 - 64.

Harga daging sapi melonjak!

Harga BBM melonjak!

Inflasi lebih tinggi dari prediksi pemerintah, APBN akan direvisi!

Rasanya hampir setiap hari kita dibombardir dengan berita-berita seperti ini. Dan secara umum dari waktu ke waktu uang yang kita pegang memang sepertinya semakin melemah saja nilai tukarnya. 

Saya ingat pas masih SD dulu naik bus kota sebagai pelajar bisa bayar dengan 100 perak saja. Sekarang? 1000 rupiah!

Lalu saya juga ingat pas tahun ’80-an, punya uang 20 ribu rupiah bisa sudah sepuas-puasnya jalan-jalan ke Mal, makan ayam goreng lezat di Kentucky, nonton bioskop dulu sebelum pulang, lalu tinggal cari taksi Blue Bird yang nyaman diantar sampai ke rumah. Sekarang? Yah, paling tidak mesti siap 100 ribu rupiah, itu pun sudah ketar-ketir apakah masih ada cukup ongkos buat naik bis dan ojek pulang!

Berdasarkan fakta yang pahit inilah, seorang Intelligent Investor mau tidak mau harus memasukkan faktor inflasi dalam pertimbangan investasinya. Jika ada satu dan hanya satu alasan utama mengapa kita harus berinvestasi, inflasi adalah jawabannya. Nilai uang akan terus fluktuatif dari waktu ke waktu, dan kecenderungannya adalah mengarah turun (atau dengan kata lain, harga-harga selalu cenderung mengarah naik)! 

Itulah sebabnya saya tidak setuju dengan pepatah ‘menabung’ pangkal kaya. Omong kosong dan ngawur! ‘Menabung’ itu sebenarnya pangkal miskin, karena uang yang kita simpan akan terus-menerus digerogoti nilainya oleh inflasi! Coba bayangkan seandainya saya menyimpan 20 ribu rupiah di celengan saya dari tahun ’80-an sampai sekarang. Ingat contoh yang di atas tadi. Lebih enak mana, belanja dengan uang 20 ribu pas tahun 1980-an atau dengan uang 20 ribu pas tahun 2013?

Menabung pangkal... miskin?? Source: ‘Koran Kontan’

Pepatah usang di atas seharusnya diganti. Menabung ‘Investasi’ pangkal kaya. Nah, sekarang sudah semakin jelas kan? Investasi yang berhasil adalah investasi yang nilai kenaikannya mampu mengalahkan inflasi.

Nah, pada bab ini, Graham memberikan pandangan-pandangan yang menarik akan investasi versus inflasi. Graham memulainya dengan jujur mengakui tidak ada investasi yang bisa memberikan hedging (perlindungan) penuh terhadap investasi. Memang investasi pada saham seringkali memberikan return yang lebih tinggi daripada persentase nilai inflasi, tetapi itu bukanlah hal yang mutlak selalu terjadi.

Zwaig lebih jauh lagi memberikan contoh dari fluktuasi harga saham di Amerika antara tahun 1926 - 2012. Walaupun data Zwaig menunjukkan bahwa saham seringkali memberikan return di atas inflasi, ternyata tetap ada saat-saatnya saham gagal mengikuti laju inflasi, misalnya ketika terjadi deflasi (inflasi negatif, hal ini juga berbahaya karena berpotensi memicu kelesuan ekonomi yang berkepanjangan ketika orang lebih suka memegang uang tunai daripada melakukan konsumsi atau investasi, misalnya di Jepang yang dimulai pada periode 1990-an, sampai-sampai dekade tersebut dikenal sebagai Japan's Lost Decade dan beberapa pakar berpendapat bahwa Jepang belum sepenuhnya keluar dari resesi sampai 20 tahun kemudian!) atau ketika laju inflasi kelewat tinggi. 

Harapan terbaik kita disini adalah menerima bahwa pasar saham bergerak seperti roller coaster. Akan ada saatnya kita menangis ketika return kita jatuh di bawah inflasi, dan ada juga saatnya kita tertawa ketika return kita berhasil mengalahkan inflasi. Untuk kasus dimana harga saham gagal mengikuti laju inflasi di Indonesia, silakan para rekan ingat lagi krisis 2008. Periode itu adalah saat-saat neraka bagi para pemain saham ketika inflasi menembus angka 11% pada akhir 2008, sedangkan IHSG malah anjlok sampai terpangkas 50% lebih pada tahun yang sama.

Selain saham, Graham dengan gamblang juga memberikan beberapa kemungkinan wadah investasi selain saham, yaitu obligasi, emas dan real estate beserta untung-ruginya sejauh yang beliau ketahui sebatas pengetahuannya. Mengenai hal ini, Graham tetap kukuh pada pendiriannya, yaitu tetap saja tidak ada wadah investasi yang bisa memberikan jaminan pasti akan selalu bisa mengalahkan inflasi. Kalau begitu apa yang bisa investor lakukan? 

Nah, salah satu jalan keluar yang Graham sarankan diversifikasi. Jangan pernah menaruh semua uang pada satu wadah investasi tertentu, tetapi sebaiknya disebar. Dan kalau pun investasi kita akan didiversifikasi, selalu pastikan bahwa kita sudah memahami betul-betul wadah investasi tersebut sebelum menaruh uang kita disitu. Masih ingat apa yang Graham utarakan pada bab sebelumnya tentang investasi versus spekulasi?

Jadi apa pesan moral dari bab ini? Inflasi akan selalu terjadi, dan itu akan selalu mengingatkan kita bahwa uang kita selalu akan menurun nilainya dari waktu ke waktu. Cepat atau lambat, rupiah pada hari esok tidak akan bisa membeli barang dan jasa sebanyak rupiah pada hari kini. Itulah sebabnya kita melakukan investasi. Walaupun investasi kita tidak selalu akan bisa mengalahkan inflasi setiap saat, dalam jangka panjang investasi yang baik akan bisa memberikan return yang berada di atas laju inflasi.

Ulasan berikutnya adalah Bab 3: A Century of Stock-Market History, hal 65 – 87. Selamat membaca!

No comments:

Post a Comment