Ulasan
ini adalah kelanjutan dari Bab 1, dan mengacu pada Bab 2: The Investor &
Inflation, hal 47 - 64.
Harga daging sapi melonjak!
Harga BBM melonjak!
Inflasi lebih tinggi dari prediksi
pemerintah, APBN akan direvisi!
Rasanya hampir setiap hari kita dibombardir
dengan berita-berita seperti ini. Dan secara umum dari waktu ke waktu uang yang
kita pegang memang sepertinya semakin melemah saja nilai tukarnya.
Saya ingat pas masih SD dulu naik bus kota
sebagai pelajar bisa bayar dengan 100 perak saja. Sekarang? 1000 rupiah!
Lalu saya juga ingat pas tahun ’80-an, punya
uang 20 ribu rupiah bisa sudah sepuas-puasnya jalan-jalan ke Mal, makan ayam
goreng lezat di Kentucky, nonton bioskop dulu sebelum pulang, lalu tinggal cari
taksi Blue Bird yang nyaman diantar sampai ke rumah. Sekarang? Yah, paling
tidak mesti siap 100 ribu rupiah, itu pun sudah ketar-ketir apakah masih ada cukup
ongkos buat naik bis dan ojek pulang!
Berdasarkan fakta yang pahit inilah, seorang
Intelligent Investor mau tidak mau harus memasukkan faktor inflasi dalam
pertimbangan investasinya. Jika ada satu dan hanya satu alasan utama mengapa
kita harus berinvestasi, inflasi adalah jawabannya. Nilai uang akan terus
fluktuatif dari waktu ke waktu, dan kecenderungannya adalah mengarah turun
(atau dengan kata lain, harga-harga selalu cenderung mengarah naik)!
Itulah sebabnya saya tidak setuju dengan
pepatah ‘menabung’ pangkal kaya. Omong kosong dan ngawur! ‘Menabung’ itu
sebenarnya pangkal miskin, karena uang yang kita simpan akan terus-menerus
digerogoti nilainya oleh inflasi! Coba bayangkan seandainya saya menyimpan 20
ribu rupiah di celengan saya dari tahun ’80-an sampai sekarang. Ingat contoh yang
di atas tadi. Lebih enak mana, belanja dengan uang 20 ribu pas tahun 1980-an
atau dengan uang 20 ribu pas tahun 2013?
Menabung pangkal... miskin?? Source: ‘Koran Kontan’ |
Pepatah usang di atas seharusnya diganti. Menabung
‘Investasi’ pangkal kaya. Nah, sekarang sudah semakin jelas kan? Investasi yang
berhasil adalah investasi yang nilai kenaikannya mampu mengalahkan inflasi.
Nah, pada bab ini, Graham memberikan pandangan-pandangan
yang menarik akan investasi versus inflasi. Graham memulainya dengan jujur
mengakui tidak ada investasi yang bisa memberikan hedging (perlindungan) penuh terhadap investasi. Memang investasi pada saham
seringkali memberikan return yang lebih tinggi daripada persentase nilai
inflasi, tetapi itu bukanlah hal yang mutlak selalu terjadi.
Zwaig lebih jauh lagi memberikan contoh dari
fluktuasi harga saham di Amerika antara tahun 1926 - 2012. Walaupun data Zwaig
menunjukkan bahwa saham seringkali memberikan return di atas inflasi, ternyata
tetap ada saat-saatnya saham gagal mengikuti laju inflasi, misalnya ketika
terjadi deflasi (inflasi negatif, hal ini juga berbahaya karena berpotensi
memicu kelesuan ekonomi yang berkepanjangan ketika orang lebih suka memegang uang tunai daripada melakukan konsumsi atau investasi, misalnya di Jepang yang dimulai pada periode 1990-an, sampai-sampai dekade tersebut dikenal sebagai Japan's Lost Decade dan beberapa pakar berpendapat bahwa Jepang belum sepenuhnya keluar dari resesi
sampai 20 tahun kemudian!) atau ketika laju inflasi kelewat tinggi.
Harapan terbaik kita disini adalah menerima
bahwa pasar saham bergerak seperti roller coaster. Akan ada saatnya kita
menangis ketika return kita jatuh di bawah inflasi, dan ada juga saatnya kita
tertawa ketika return kita berhasil mengalahkan inflasi. Untuk kasus dimana harga saham gagal
mengikuti laju inflasi di Indonesia, silakan para rekan ingat lagi krisis 2008. Periode itu adalah saat-saat neraka bagi para pemain saham ketika inflasi menembus angka
11% pada akhir 2008, sedangkan IHSG malah anjlok sampai terpangkas 50%
lebih pada tahun yang sama.
Selain saham, Graham dengan gamblang juga
memberikan beberapa kemungkinan wadah investasi selain saham, yaitu obligasi, emas
dan real estate beserta untung-ruginya sejauh yang beliau ketahui sebatas
pengetahuannya. Mengenai hal ini, Graham tetap kukuh pada pendiriannya, yaitu tetap
saja tidak ada wadah investasi yang bisa memberikan jaminan pasti akan selalu bisa
mengalahkan inflasi. Kalau begitu apa yang bisa investor lakukan?
Nah, salah satu jalan keluar yang Graham sarankan diversifikasi. Jangan pernah menaruh semua uang pada satu wadah
investasi tertentu, tetapi sebaiknya disebar. Dan kalau pun investasi kita akan
didiversifikasi, selalu pastikan bahwa kita sudah memahami betul-betul wadah
investasi tersebut sebelum menaruh uang kita disitu. Masih ingat apa yang
Graham utarakan pada bab sebelumnya tentang investasi versus spekulasi?
Jadi apa pesan moral dari bab ini? Inflasi
akan selalu terjadi, dan itu akan selalu mengingatkan kita bahwa uang kita
selalu akan menurun nilainya dari waktu ke waktu. Cepat atau lambat, rupiah
pada hari esok tidak akan bisa membeli barang dan jasa sebanyak rupiah pada
hari kini. Itulah sebabnya kita melakukan investasi. Walaupun investasi kita
tidak selalu akan bisa mengalahkan inflasi setiap saat, dalam jangka panjang
investasi yang baik akan bisa memberikan return yang berada di atas laju
inflasi.
Ulasan
berikutnya adalah Bab 3: A Century of Stock-Market History, hal 65 – 87. Selamat membaca!
No comments:
Post a Comment