Ulasan
ini adalah kelanjutan dari Bab 2, dan mengacu pada Bab 3: A Century of Stock-Market
History, hal 65 - 87.
Bab ini mungkin terlihat rada aneh. Mengapa kita harus membaca ulasan pasar saham selama satu abad sebelumnya? Mengapa kita tidak langsung saja menganalisis pasar saham pada kondisi saat ini juga sekarang juga?
Jawabannya
sederhana saja. Apa saja yang kita ketahui tentang pasar saham saat ini berasal
dari data masa lampau! Apakah IHSG akan melonjak begitu harga komoditas dunia
melonjak? Data masa lampau! Apakah IHSG akan jatuh kalau the Fed mengubah kebijakan
Quantitative Easing? Data masa lampau! Apakah IHSG akan begini dan
begitu jika yang ini atau yang itu terjadi? Data masa lampau!
Learn from the past. Live in the present. Believe in the future. Source: Siamckye.blogspot.com
Siamckye.blogspot.com#sthash.Wg9KLmax.dpuf
|
Pada
bab ini, Graham memberikan kupasan yang rinci akan sejarah pasar saham Amerika
selama satu abad dari pertengahan abad ke-19 sampai tahun 1972. Saya tidak akan
membahas dengan rinci apa yang Graham jabarkan pada bab ini, silakan para rekan
baca sendiri. Tetapi saya ingin menekankan betapa pentingnya dinamika pasar
yang terjadi dari tahun ke tahun dan apa kesimpulan penting yang diambil oleh
Graham dan Zwaig.
Perlahan-lahan
Graham membeberkan siklus banteng dan beruang pada pasar saham Amerika dari
tahun ke tahun dan bagaimana siklus ini memberikan petunjuk akan dinamika pasar
saham pada tahun 1972. Belakangan Zwaig lebih jauh lagi memperluas ulasan
Graham sampai pada pasar saham saat dotcom bubble and burst tahun 1999 dan
2000. Ternyata hasilnya tidak berbeda jauh. Ada saat-saatnya pasar saham di
atas, dan ada juga saatnya pasar saham terhempas.
Satu
hal penting yang Graham tekankan pada bab ini adalah agar jangan pernah sampai
berhutang (atau dalam istilah populer sekarang, memakai margin) untuk
berinvestasi, dan selalu ingat pentingnya diversifikasi (masih ingat himbauan
Graham akan diversifikasi pada bab sebelumnya?) pada portofolio investasi para
Intelligent Investor. Lebih eksplisit lagi, Graham menekankan agar cukup
separuh portofolio saja yang mencakup saham. Selebihnya ya disebar pada wadah
investasi lainnya (emas, properti, obligasi, dll).
Himbauan
Graham ini mungkin mengagetkan sebagian para rekan. “Graham bagaimana sih? Bukannya
buku Intelligent Investor fokus untuk main saham secara intelijen? Mengapa
Graham malah seakan-akan ingin kita tidak benar-benar serius bermain saham? Sampai-sampai
melarang-larang pakai margin segala??”
Begini,
jangan lupa kalau Graham sudah mengalami sendiri pahitnya krismon besar The Great Depression pada 1929, dan beliau kehilangan –bisa dibilang- seluruh
investasinya. Pukulan telak ini seterusnya berbekas pada cara berpikir Graham
yang konservatif dan bagaimana caranya bertahan main saham dengan kerugian yang
seminimal mungkin. Sepanjang buku Intelligent Investor, Graham akan
terus-menerus menekankan betapa pentingnya bagi para investor untuk melindungi
modal kita dalam bermain saham.
Murid
Graham yang terbaik, Warren Buffet merangkum pandangan Graham dalam 2 nasihat terkenal:
- never lose money,
- always remember rule 1!
Perhatikan
bahwa Buffet tidak berkata ‘always make money’.
Ingat
juga apa yang Zwaig jabarkan sebagai salah satu ide terpenting investasi
Graham: kita harus bersungguh-sungguh melindungi diri dari kerugian yang
fatal. Diversifikasi adalah saran
yang diberikan Graham pada buku Intelligent Investor, tetapi investor besar
lainnya seperti Buffet dan O’Neil juga memiliki cara tersendiri untuk
melindungi modal main saham. Saya mengingatkan para rekan untuk tidak terpaku
pada pandangan Graham saja dan mencoba membandingkan beberapa gaya investasi
yang berbeda sampai mendapatkan cara main saham yang sesuai dengan karakter
pribadi masing-masing.
Sebagai penutup bab ini, Zwaig juga mengambil satu kesimpulan penting setelah membaca dinamika pasar
saham dari tahun ke tahun selama satu abad lebih. Hanya ada satu hal yang pasti
dari masa lampau, yaitu masa depan akan selalu memberi kejutan, selalu! Pasar
tanpa ampun akan menghantam mereka yang kelewat percaya diri dalam memprediksi
pasar, jadi jangan pernah mengambil risiko berlebihan dalam bermain saham
karena kita tetap saja bisa salah.
Walaupun demikian, bagi seorang investor,
harapan tidak akan pernah padam walaupun hanya secuil saja. Karena kalau tidak
ada lagi harapan, untuk apa lagi kita berinvestasi? Tidak peduli sesuram apa pun
situasi yang dialami seorang Intelligent Investor, kita selalu percaya akan ada
sesuatu yang menanti kita di masa depan. Ini juga yang telah ditulis Zwaig pada
bab sebelumnya, yaitu kita berharap mencetak hasil yang secukupnya,
dan tidak berlebih-lebihan.
Pesan moral dari bab ini dirangkum dengan
baik oleh Zwaig dengan mengutip percakapan antara G. K. Chesterton, seorang
sastrawan Inggris, dengan seorang kritikus yang sinis. Sang kritikus menyindir
dengan sinis, “Diberkatilah orang yang tidak berharap apa-apa, karena dia tidak akan pernah merasa kecewa.”
Tanggapan Chesterton? “Justru sebaliknya, sobat. Diberkatilah orang yang tidak berharap apa-apa, karena dia akan bersyukur atas segala-galanya.”
Ulasan
berikutnya adalah Bab 4: General Portfolio Policy: The Defensive Investor, hal 88 – 111. Selamat membaca!
Thanks mas wawasannya. Ulasannya bagus.
ReplyDeleteSama2, kawan Pelangi. Sukses juga main sahamnya. :)
ReplyDeleteData dan sejarah masa lalu hanya bisa digunakan sebagai refferensi bukan untuk berspekulasi mengharap masa yang akan datang terjadi kejadian yang sama. Saham punya sifat yang sangat dinamis karena berhubungan langsung dengan emosional kelompok tertentu sebagai pelaku pasar.
ReplyDelete