Sunday, December 22, 2013

Lo Kheng Hong versus saham BUMI

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ketika membaca koran finansial beberapa waktu lalu, satu artikel berhasil menarik perhatian saya.

Kenapa Lo Kheng Hong Masih Pegang Saham Tambang Grup Bakrie?


Saya terbungkam. Selama ini saya segan terhadap nama besar Lo Kheng Hong, dan beliau adalah salah satu panutan saya sebagai investor saham. Dan dari waktu ke waktu, saya percaya pada ajaran beliau bahwa yang paling penting ketika menganalisis suatu emiten adalah 'manajemen, manajemen, dan manajemen'. Lalu mengapa beliau sekarang tetap mantap menanamkan uangnya di BUMI yang notabene terus merugi belakangan ini, dan juga salah satu emiten andalan Aburizal Bakrie?

Terus terang, saya pribadi rada ngeri kalau mau berurusan dengan emiten terkait grup Bakrie. Terlalu banyak hal yang saya tidak mengerti ketika menganalisis fundamental saham BUMI, jadi jujur saja BUMI belum masuk dalam shortlist saham yang akan saya masukkan pada tahun 2014 mendatang.

Akan tetapi, ada sedikit petunjuk dari Kheng Hong pada bagian awal dan akhir artikel tersebut.
"Perusahaan ini masih berproduksi. Masih 80 juta ton produksinya. Cadangan batubaranya juga banyak, terbesar... Dulu harga saham BUMI Rp 8.750 per saham, sekarang kira-kira sudah Rp 300-310 per saham. Ya memang lagi begitu."

Selain itu, artikel ini ditutup dengan kalimat yang sangat menarik. 
"Hingga kuartal III-2013, perseroan mencatatkan kerugian sebesar US$ 377,5 juta. Angka ini turun 40% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 632,5 juta.

Kerugian tersebut disebabkan oleh masih rendahnya harga batu bara dunia yang bertengger di bawah US$ 70 per ton sehingga belum mampu menutup kerugian di tahun sebelumnya.

Namun, perseroan mencatat kenaikan volume penjualan batu bara sebesar 22,9% dari 47,7 metrik ton pada kuartal III-2013 menjadi 58,6 metrik ton pada kuartal III-2013."

Dengan kata lain, bisnis masih tetap berjalan lancar pada emiten batu bara. Perusahaan merugi karena memang harga komoditas saat ini sedang anjlok!

Saya lalu mencari-cari artikel lama tentang Lo Kheng Hong, dan kembali menemukan penegasan akan strategi beliau:
Selama semester I 2013 Kheng Hong mengaku memperbanyak koleksi saham sektor yang sedang terpuruk, seperti sektor komoditas. Saat ini, harga saham-saham tersebut murah karena sedang dijauhi orang. Berinvestasi di saham ini juga cenderung low risk karena harganya tergolong murah. "Saya sendiri memilih beli dan simpan sambil menunggu harga komoditas pulih," imbuhnya.

Kalimat 'saham sektor yang sedang terpuruk' menyiratkan bahwa BUMI -dan emiten batu bara secara umum- termasuk saham siklikal. Menurut Peter Lynch, kunci dalam bermain saham siklikal adalah timing yang tepat, dan Lynch bicara timing dalam jangka panjang. Ingat strategi saham yang dianjurkan Benjamin Graham. Belilah ketika harga sedang anjlok, dan jualah ketika harga sudah meroket!

Dan sebagai langkah terakhir, saya melihat Aksi Harga BUMI pada Monthly chart 5 tahun belakangan:

BUMI sudah berada pada posisi Swing Low.

Jika harga komoditas kembali meroket, bisa saja BUMI kembali menjadi primadona investor saham Indonesia. Secara teknikal, BUMI sudah kembali stabil pada kisaran harga sebelum bubble komoditas 2007, jadi saya rasa Kheng Hong tidak salah-salah amat mengoleksi saham BUMI sekarang.

Bagaimana menurut para rekan sekalian?


DISCLAIMER MODE ON: Ini bukan anjuran untuk jual-beli saham-saham tertentu. Risiko silakan tanggung sendiri.

Monday, December 16, 2013

Analisis fundamental kualitatif - SWOT

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Diskusi saya dengan Bung Iyan tentang analisis fundamental saham baru-baru ini sangat menarik. Saya menyarankan para rekan untuk membacanya disini: Apa Inti Analisa Fundamental?

Terutama sekali saya menyarankan para rekan untuk membaca bagian komentar karena disitulah saya dan Bung Iyan banyak bertukar pikiran akan analisis fundamental. Salah satu hal yang sempat saya lontarkan mengenai aspek kualitatif dari analisis fundamental adalah SWOT

SWOT ini adalah salah satu teknik analisis kualitatif yang sangat praktis bagi pemain saham ritel dalam mencari saham bagus. Perhatikan argumen saya dengan rekan Iyan. Jika sebelumnya analisis fundamental klasik fokus 'mencari saham yang relatif murah', maka analisis fundamental modern melangkah lebih jauh dengan fokus 'mencari saham bagus yang relatif murah'.  

Sebentar, SWOT? SWOT?? Apaan sih SWOT itu, Bung Willy? 

SWOT itu singkatan dari Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats. Atau  untuk lebih jelasnya:
1) Strengths: faktor yang mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu perusahaan terhadap kompetitor
2) Weaknesses: faktor yang dapat berbahaya bagi perusahaan jika dimanfaatkan oleh kompetitor
3) Opportunities: situasi yang dapat memberikan peluang bagi bisnis
4) Threats: situasi yang dapat mengancam kesinambungan bisnis

Strengths dan weakness adalah faktor internal perusahaan dan bisa di-manage langsung, sedangkan opportunities dan threats situasi eksternal dan perusahaan hanya bisa bereaksi mengantisipasi faktor eksternal tersebut. SWOT seringkali disajikan dalam bentuk matriks seperti di bawah ini:
SWOT analysis dalam matriks 2 x 2
Sumber: Wikipedia

Analisis SWOT dapat dengan mudah dilakukan oleh investor ritel manapun dengan bantuan Google. Jika anda serius, dalam 1 - 2 jam saja sudah bisa dapat banyak info akan emiten tertentu yang bisa dikategorikan lebih lanjut ke dalam matriks SWOT. Jangan mengeluh, ini termasuk harga yang harus anda bayar jika memang mantap memilih jadi investor aktif.

Wah, analisis kualitatif mudah sekali ya! Kalau begitu saya bisa investasi saham dengan SWOT saja dong, Bung Willy? Tidak perlu analisis aneh-aneh lagi?

Ya dan tidak. Memang benar SWOT sangat bermanfaat dalam menganalisis suatu saham bagus, tetapi ingat juga kalau fokus analisis fundamental modern adalah 'mencari saham bagus yang relatif murah'. Tidak peduli sebagus apa pun suatu perusahaan, jika sahamnya sudah kelewat mahal ya saya tetap tidak mau beli. Itulah sebabnya saya menyarankan agar analisis kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara bersamaan jika anda serius ingin melakukan investasi saham.

Selain itu kualitas analisis SWOT juga sangat subjektif bergantung pada kualitas input yang para rekan masukkan ke matriks. Kalau inputnya tidak seimbang menekankan salah satu atau sebagian saja dari huruf S W O T, ya tentu saja SWOT akan memberikan output yang bias. Garbage In, Garbage Out.

Saran saya adalah agar para rekan serealistis mungkin dalam mengategorikan SWOT. Sebisa mungkin hindari tafsiran yang 'abu-abu', dan kalau bisa sebaiknya analisis dilakukan bersamaan dengan analisis kompetitornya. SWOT juga tidak perlu panjang-panjang amat, yang penting kita tidak sampai membeli kucing dalam karung. Ingat, analisis kualitatif hanyalah salah satu aspek dari analisis fundamental modern, kita tetap perlu melakukan analisis kuantitatif. 

Sebagai contoh, perhatikan analisis SWOT berikut ini untuk perusahaan Coca Cola pada tahun 2013:

Coca Cola SWOT analysis 2013
Sumber: Strategic Management Insight

Sederhana kan? Ini juga sesuai dengan ajaran Peter Lynch dalam One Up on Wall Street agar kita 'mengerjakan PR' dulu sebelum memutuskan membeli saham. Jangan sampai kita langsung memutuskan investasi di saham Coca Cola hanya karena kita 'sekedar tahu' setiap hari kan sudah minum Coca Cola!

Nah, sekarang saya kasih PR deh untuk para rekan investor saham yang juga membaca artikel ini. Coba lakukan analisis SWOT untuk satu saja saham favorit anda. Mau UNVR, BBCA, BUMI, ASII, INCO, atau saham apa saja terserah. Dari situ para rekan bisa menilai sendiri apakah saham itu termasuk saham bagus dan apakah anda mau lanjut dengan analisis kuantitatif. OK? Selamat bersenang-senang dengan SWOT!

Sunday, December 1, 2013

Target Laba Investor Aktif di Indonesia (Bagian 1)

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saya mendapat pertanyaan dari beberapa rekan tentang target laba yang masuk akal bagi mereka yang sudah mantap ingin menjadi investor aktif di Indonesia. Kita tahu sebelumnya bahwa investor aktif dapat mencetak hasil yang lebih tinggi dari investor pasif yang sekedar fokus main saham lewat reksadana indeks dan menggunakan Dollar-cost averaging strategy.

Dari sini, tentu kita secara kasar dapat menetapkan batas terendah yang bisa menjadi target investor aktif. Minimal, seorang investor aktif harus berhasil mencetak return yang 100% setara dengan return Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir tahun. Perhatikan bahwa saya tidak mengatakan return harian, mingguan, atau bahkan bulanan. Boleh-boleh saja jika laba jangka pendek anda masih di bawah return dari indeks, tetapi return anda setelah investasi 1 tahun harus bisa berada di atas indeks.

Atau jika rekan investor fokus pada aspek tertentu dari IHSG, return anda minimal harus setara dengan return dari indeks yang para rekan pilih. Misalnya jika para rekan membatasi diri berinvestasi aktif pada saham syariah, maka investasi anda pada akhir tahun harus berhasil mengalahkan return jika seandainya para rekan sekedar berlangganan reksadana syariah Jakarta Islamic Index.

Atau bisa juga jika para rekan memilih fokus investasi aktif pada sektor tertentu dari IHSG, misalnya sektor pertambangan. Target labanya juga tidak berubah. Investasi anda pada akhir tahun harus berhasil mengalahkan return jika seandainya para rekan sekedar berlangganan reksadana sektor pertambangan.

Sebentar, Bung Willy. Itu kan kalau pasar sedang bullish. Kalau ternyata pasar sedang bearish bagaimana?

Ya, tidak masalah. Ingat, ciri khas investor aktif adalah kemampuan mereka mencetak return yang lebih baik daripada investor pasif. Pada saat pasar bearish, return investor pasif tentu juga otomatis akan menurun seiring dengan anjloknya harga pasar.

Dengan demikian, secara kasar kita dapat menentukan batas bawah untuk return dari investor aktif pada saat pasar sedang bearish. Mau tidak mau, investor aktif harus bisa menjaga agar return investasinya tidak terjerembab lebih parah dari anjloknya indeks yang menjadi benchmark mereka!

Agar lebih jelas lagi, mari kita perhatikan beberapa contoh nyata target laba dari para rekan investor yang saya ketahui.

1) Rekan Iyan dari blog Terus Belajar Saham
Bung Iyan adalah sahabat seperjuangan saya yang juga memiliki pengalaman cukup banyak dalam bermain saham. Pada blognya, Bung Iyan bahkan membagi beberapa target laba bagi investor aktif tahap pemula, menengah, dan mahir.

Hal yang menarik disini adalah bagaimana rekan Iyan sebagai investor yang mahir memiliki target laba yang cukup konservatif ketika pasar sedang bullish (untung 100% mengikuti kenaikan IHSG), namun sangat agresif ketika pasar sedang bearish (rugi maksimal 20% dari penurunan IHSG). Saya rasa ini mengacu kepada pengalaman pahit ketika IHSG berdarah-darah pada tahun 1998, dan taktik umum sebagai seorang trader saham. Cut your losses short, and let you winners run.

2) Rekan Bola Salju dari blog Bola Salju
Rekan Bola Salju adalah salah satu Value Investor di Indonesia yang paling berhasil yang saya ketahui. Walaupun beliau sangat rendah hati, saya sangat terkesan dengan return tahunan yang berani rekan Bola Salju tuangkan pada blognya pribadi, komplit dengan strategi investasinya secara terbuka.


Pada kenyataannya, rekan Bola Salju berhasil mencetak hasil yang luar biasa dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, return tahunan rekan Bola Salju adalah 160%. Hal ini terus berlanjut pada tahun 2012 dengan return tahunan mencapai 146.3%!

Hal yang menarik adalah pada tahun 2013 yang  merupakan tahun penuh tantangan bagi kawan Bola Salju begitu pasar melesu karena diterkam beruang ganas. Pada Oktober 2013, return YTD rekan Bola Salju hanyalah 0.94% saja.
Tahun 2013 yang penuh dinamika
Source: Kontan.co.id

Saya cukup maklum karena tahun ini memang memberikan ujian berat bagi para investor di Indonesia.

3) Warren Buffet, the Oracle of Omaha
Return tahunan Buffet bisa diakses masyarakat luas melalui situs Berkshire Hathaway, jadi saya tidak akan berpanjang lebar disini. Secara umum, memang return tahunan Buffet bisa mengalahkan indeks S&P 500 dalam jangka panjang dengan rata-rata return 20% per tahun.

Hal yang menarik disini adalah fakta bahwa return tahun Buffet 'hanya' sekedar 20% per tahun, sedangkan sebelumnya kita melihat rekan Bola Salju bisa mencetak hasil yang sangat fantastis ketika pasar sedang bullish. Saya rasa inilah hal yang sering dilupakan orang ketika membahas return investasi saham pada Developed World dan Emerging Markets. Kebanyakan saham di Indonesia bisa dibilang jatuh pada tipe Growth Stock, suatu ciri khas dari negara-negara Emerging Markets. Dengan kata lain, jauh lebih cepat menjadi kaya-raya lewat investasi saham pada Indonesia daripada Amerika!

Hanya saja harap diingat, risikonya juga jauh lebih besar untuk berinvestasi saham pada Emerging Markets jika dibandingkan dengan berinvestasi pada Developed World. Higher risk, higher return.

4) Lo Kheng Hong, the Living Legend
Sebagai penutup, mari kita selidiki seberapa besar return tahunan investor saham yang paling sukses sepanjang sejarah Indonesia, yaitu Lo Kheng Hong. Sayangnya beliau termasuk tipe orang yang -maaf- kolot, dan tidak tertarik menuliskan strategi investasi sahamnya secara online dari waktu ke waktu.

Akan tetapi, kita dapat melacak target laba Lo Kheng Hong sedikit-banyak melalui Google:
Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150,000% sampai saat ini. [sumber: Investor Daily]

Interview Lo Kheng Hong dengan Investor Daily tersebut berlangsung sekitar akhir 2011. Jika kita mengacu kepada kutipan tersebut dan menggunakan hitung-hitungan sederhana dengan matematika bunga berbunga, kita akan mendapatkan rata-rata return tahunan rekan Kheng Hong sebesar 69%. Ini konsisten dengan harapan kita bahwa investasi di Emerging Markets harus Higher Return daripada investasi di Developed World seperti yang dilakukan Warren Buffet.

Di sisi lain, kita juga harus mengakui fakta bahwa Kheng Hong pernah mengalami kerugian sampai -85% dari total portofolio sahamnya (asumsikan semua uang beliau untuk investasi saham). Ini lebih buruk daripada batas bawah investor aktif yang kita tetapkan sebelumnya, karena IHSG 'hanya' anjlok sekitar -60% saja ketika krisis 1997-1998. Saya menduga Kheng Hong sebenarnya termasuk tipe investor aktif yang super agresif, atau bisa juga saat itu 'ilmu' beliau masih rendah, jadi masih banyak melakukan kesalahan sebagai 'pemula'.

Saya pribadi sebagai modern Value Investor masih harus banyak belajar dan berlatih seperti layaknya rekan-rekan di atas yang sudah berhasil mencetak hasil yang mengagumkan sebagai sesama investor aktif. Jika mereka bisa, saya juga bisa. Mengapa tidak?

Jika saya percaya pada bangkitnya bangsa Indonesia pada abad modern ini, saya juga akan turut bangkit ketika sang Macan Asia kembali mengaum. Percayalah pada daya tahan bangsa Indonesia ketika beruang ganas lepas seperti sekarang ini, dan kita akan kembali tertawa ketika sang beruang kembali terlelap dan banteng liar kembali melesat.

Selama kita masih percaya pada daya tahan bangsa ini, Indonesia akan terus bertahan tidak peduli sedahsyat apa pun krisis yang menghantam kita di masa yang akan datang. Confucius pernah berkata, negara yang kuat butuh senjata, makanan, dan kepercayaan rakyat. Korbankanlah senjata dan makanan jika harus memilih, tetapi jangan pernah sampai kehilangan kepercayaan rakyat. Jika suatu negara sudah sampai tidak lagi memiliki kepercayaan rakyatnya, tamatlah riwayat negara tersebut.