Sunday, December 21, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - Convertible Issues and Warrants

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 15, dan mengacu pada Bab 16: Convertible Issues and Warrants, hal 403 – 421.
Setelah pada 2 bab sebelumnya kita fokus kepada detail strategi main saham ala Graham bagi investor pasif dan aktif, kita akan melihat bab-bab terakhir dari buku Intelligent Investor ini sebagai penutup yang manis.

Bab-bab penutup ini dimulai Graham dengan bahasan akan obligasi konversi dan waran. Saya tidak berencana untuk berpanjang-lebar untuk bagian ini, karena Graham (dan juga Buffet) cukup pesimistis akan instrumen derivatif.
Bagi Warren Buffet, derivatif adalah instrumen yang sangat riskan
Sumber: http://www.boreme.com/posting.php?id=36638#.Vb4ChflQusA


Selain itu, saya tidak begitu yakin opini Graham relevan dengan kenyataan mengenai obligasi konversi dan waran di Indonesia. Oleh karena itu, saya akan lebih menekankan pengertian mudah dari instrumen derivatif, baru masuk ke bagian obligasi konversi dan waran.

Tunggu, Bung Willy. Sebenarnya derivatif itu apa?

Gampangnya derivatif itu ya produk turunan dari instrumen investasi utama. Menurut Wikipedia, instrumen derivatif lahir sebagai alternatif daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.

Coba para rekan renungkan, dari awal kan kalau kita perhatikan penjelasan Graham terus fokus pada obligasi dan saham. Ini karena memang Graham sangat merekomendasikan investor untuk fokus pada instrumen investasi utama saja, dan tidak perlu main-main yang tidak perlu di produk derivatif.

Ok, lalu?

Nah, obligasi konversi itu salah satu produk derivatif yang biasanya diterbitkan ketika perusahaan ingin menggalang dana dengan menerbitkan obligasi, tetapi ingin membuatnya lebih menarik ke depannya (sweetener) dan menarik lebih banyak lagi investor untuk menanamkan modalnya.

Bagaimana caranya?

Idenya disini adalah obligasi tersebut memiliki tempelan opsi untuk dikonversikan menjadi saham pada harga tertentu (dan biasanya konversi hanya bisa dilakukan pada jangka waktu tertentu, setelah itu obligasinya kembali menjadi obligasi biasa). Misalkan saya punya selembar obligasi yang bisa saya konversi menjadi 2 lembar saham. Anggaplah obligasi saya nilainya Rp10.000,-; secara teoritis tentunya saya akan dengan senang hati mengonversi obligasi saya jika harga saham berada di atas Rp5.000,-, kan? Misalkan harga saham hari ini meroket dari Rp4.800,- ke Rp.5.500,-. Saya tentunya akan menari-nari bahagia jika saham yang dijual di pasaran pada harga Rp5.500,- bisa saya peroleh dengan harga Rp5.000,- dari obligasi konversi saya.

Wah, asyik nih, Bung Willy! Kalau waran gimana??

Waran itu mirip dengan opsi konversi, cuma bedanya waran dijual terpisah dari produk utamnya. Ingat, kalau obligasi konversi tadi kan opsi konversi tersebut itu sudah built-in satu bagian dengan obligasinya, kalau waran tidak built-in. Yah, sama-sama sebagai sweetener deal gitu deh.

Kayaknya gak ada yang salah dengan konversi dan waran, Bung Willy. Lalu kenapa Graham dan Buffet sepertinya 'alergi' sama derivatif?

Permasalahannya sih bukan di konversi sama waran-nya, tetapi lebih ke tingkah laku perusahaan dalam menerbitkan produk derivatif tersebut. Kenapa perusahaan mau-maunya menerbitkan produk derivatif tersebut? Kalau dipikir-pikir rasanya perusahaan malah buntung ke depannya pas investor konversi obligasinya ke saham di harga yang menguntungkan investor (dan merugikan perusahaan kan)?

Namun yang lebih membuat Graham gemas, perusahaan bisa saja menerbitkan konversi dan waran ketika pasar sedang bullish, yang itu berarti instrumen tersebut dijual pada harga premium. Jika anda ingat kisah Tuan Pasar, ini adalah salah satu trik beliau dalam memancing investor untuk mengambil tawaran dia yang bisa saja tidak masuk akal mahalnya.

Tidak banyak yang ditambahkan Zwaig, selain masukan dari dia bahwa obligasi konversi sebaiknya memang tidak dianggap sebagai obligasi biasa. Lebih cocok kalau obligasi konversi dianggap serupa dengan saham preferen, karena memang investor akan lebih mencari peluang untuk konversi pada harga yang menguntungkan. Ini mendorong performa derivatif yang lebih condong ke pergerakan saham daripada obligasi.

Nah, akhirnya kita sampai pada pesan moral bab ini: waspadalah terhadap produk derivatif. Jika anda bermain-main  dengan produk derivatif tanpa mempertimbangkan risikonya, maka kerugian anda pun pasti akan berkali-kali lipat sakitnya. Walaupun demikian, saya pribadi beranggapan investor bukan berarti harus sepenuhnya anti sama konversi dan waran. Justru sebaliknya, jika ternyata investor bisa mendapatkan konversi dan waran pada harga yang sangat menarik murahnya, keuntungan investor pun bisa berlipat ganda. Bahkan Warren Buffet yang normalnya 'alergi' sama produk derivatif saja bisa dengan lihai mendapatkan waran dari bank besar Goldman Sachs ketika Amerika dihantam krismon 2008. Financial weapons of mass destruction, indeed.


Ulasan berikutnya adalah Bab 17: Four Extremely Instructive Case Histories, hal 422 – 445 [BELUM TERBIT]. Selamat membaca!

Tuesday, January 21, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - Stock Selection for the Enterprising Investor

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 14, dan mengacu pada Bab 15: Stock Selection for the Enterprising Investor, hal 376 – 402.

Setelah pada bab sebelumnya kita membahas tujuh syarat statistik bagi investor pasif, bab ini akan memberikan kriteria Graham bagi investor aktif. Dengan kata lain, bagaimana memilih saham-saham Value?

Saya tahu, saya tahu! PER-nya harus rendah kan, Bung Willy?

Yup, tepat sekali. PER atau rasio harga terhadap laba yang rendah itu yang biasanya pertama kali menjadi fokus investor aktif. Jika menggunakan stock screener, kita bisa meng-input syarat PER-nya di bawah 9 misalnya.

Graham lalu memberikan 5 syarat tambahan untuk saham pilihan investor aktif:
  1. Struktur keuangan yang sehat. Aset lancar minimal 150% dari hutang lancar.
  2. Stabilitas laba. Perusahaan tidak merugi selama 5 tahun terakhir.
  3. Dividen. Pembagian dividen harus konsisten.
  4. Growth laba. Laba tahun terakhir harus di atas laba 5 tahun yang lalu.
  5. Harga. PBV harus lebih kecil dari 120%.

Ada beberapa penjelasan lain dari Graham mengenai situasi spesial, tetapi saya pribadi agak kesulitan mencari analoginya yang pas untuk pasar modal Indonesia.

Di sisi lain, Zweig menekankan bahwa sekedar mengetahui shopping list Value Investing seperti pada bab ini dan bab sebelumnya bukanlah hal yang paling utama. Terlebih penting di sini adalah agar investor aktif berlatih, berlatih, dan berlatih. Jangan berhenti hanya pada 'kulitnya' saja dengan sekedar screening saham lalu 'tembak langsung' saja uang semuanya diinvestasikan di emiten yang ada pada daftar. Proses investasi aktif ini yang mulai dari screening, meninjau kinerja masa lalu emiten, lalu 'nebak' kinerja emiten ke depannya tidak bisa langsung mengerti dengan sekedar membaca buku Intelligent Investor. Itu butuh jam terbang juga sampai investor aktif benar-benar jago.

Waduh, jadi bagaimana dong, Bung Willy? 

Ya mulai saja latihan dengan portofolio virtual. Beberapa broker atau website finansial di Indonesia memperbolehkan simulasi trading, atau bisa juga menggunakan jasa online portfolio tracker seperti dari Bloomberg.

Dengan memulai investasi lewat simulasi dengan uang virtual, investor bisa belajar dari kesalahan tanpa kerugian langsung. Simulasi juga bisa membangun disiplin untuk menghindari trading yang berlebihan bagi anda yang ingin menjadi investor yang serius. Dan bahkan lebih jauh lagi, investor bisa membandingkan gaya main sahamnya pribadi dengan para profesional betulan, dan mencoba-coba gaya main saham yang berbeda-beda sampai dapat yang pas sebelum mulai investasi dengan uang betulan.

Misalnya setelah 1 tahun mencoba simulasi dan para rekan puas dengan hasilnya, baru buka rekening investasi saham dengan uang betulan. Jika ternyata setelah 1 tahun simulasi para rekan ujung-ujungnya hanya bosan dan tidak senang dengan proses investasinya, berarti memang menjadi investor aktif bukanlah pilihan yang tepat bagi para rekan. Silakan buka rekening reksadana indeks, dan nikmatilah sisa hidup anda sebagai investor pasif.

Kini kita sampai pesan moral bab ini. Tidak peduli teknik mereka dalam berinvestasi saham, investor sejati yang sukses memiliki dua kesamaan. Pertama, mereka disiplin dan konsisten. Investor aktif tidak akan mengubah-ubah gaya main mereka semaunya, walaupun gaya main mereka tidak sesuai dengan gaya main kebanyakan orang. Yang kedua, mereka benar-benar mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk bisa mengerti apa yang mereka lakukan dalam berinvestasi, tetapi mereka tidak tertarik memelototi naik turunnya pasar setiap saat yang seringkali memang tidak masuk akal.


PS: Saya mendapatkan masukan yang menarik dari rekan Value Investors di USA, mengapa saya tidak membahas senjata pamungkas Benjamin Graham pada bab ini, yaitu saham Net-Net. Sebenarnya saya ini ingin menyimpan konsep Net-Net sampai setelah pembahasan Intelligent Investor selesai, karena itu terkait juga dengan kisah keberhasilan Walter & Edwin Schloss, yang ingin saya bahas secara terpisah. Harap bersabar.


Ulasan berikutnya adalah Bab 16: Convertible Issues and Warrants, hal 403 – 421. Selamat membaca!

Sunday, January 19, 2014

Greed, for lack of a better word, is....

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ketika sedang memikirkan tulisan terbaru akan analisis fundamental akhir minggu ini, saya teringat pada tokoh Gordon Gekko dari film Wall Street

Gordon Gekko
Sumber: Wikipedia

Mungkin rekan-rekan disini paling ingat Gekko dari adegan ini:



Walaupun sangat kontroversial, Gekko memberikan nasihat fundamental praktis pada RUPS perusahaan Teldar di video tersebut. Coba perhatikan baik-baik apa yang Gekko ucapkan.

Well, I appreciate the opportunity you're giving me Mr. Cromwell as the single largest shareholder in Teldar Paper, to speak. Well, ladies and gentlemen we're not here to indulge in fantasy but in political and economic reality. America, America has become a second-rate power. Its trade deficit and its fiscal deficit are at nightmare proportions. Now, in the days of the free market when our country was a top industrial power, there was accountability to the stockholder. The Carnegies, the Mellons, the men that built this great industrial empire, made sure of it because it was their money at stake. Today, management has no stake in the company! All together, these men sitting up here own less than three percent of the company. And where does Mr. Cromwell put his million-dollar salary? Not in Teldar stock; he owns less than one percent.

Hmmm... menurut Gekko, Pak Cromwell adalah pemegang saham terbesar dari perusahaan Teldar Paper. Ok. Lalu mengapa Pak Cromwell hanya memegang kurang dari 1% saham Teldar Paper? Bahkan lebih gawat lagi, pihak manajemen hanya memegang kurang dari 3% saham Teldar Paper? Menurut Gekko, perusahaan-perusahaan Amerika di masa lalu seperti milik Carnegie dan Mellon bisa menjadi perusahaan hebat karena memang pihak manajemennya benar-benar menginvestasikan uang mereka di perusahaan tersebut.

You own the company. That's right, you, the stockholder.

Pemegang saham terbesar adalah publik. Jadi tentu saja publiklah yang merupakan pemilik perusahaan Teldar Paper. 

And you are all being royally screwed over by these, these bureaucrats, with their luncheons, their hunting and fishing trips, their corporate jets and golden parachutes. 

Say what?!? Uang perusahaan dihambur-hamburkan untuk gaya hidup mewah manajemennya?? Makan siang mewah, tamasya berburu dan memancing, jet perusahaan sampai parasut lapis emas??? Son of a...!!!

Teldar Paper, Mr. Cromwell, Teldar Paper has 33 different vice presidents each earning over 200 thousand dollars a year. Now, I have spent the last two months analyzing what all these guys do, and I still can't figure it out. One thing I do know is that our paper company lost 110 million dollars last year, and I'll bet that half of that was spent in all the paperwork going back and forth between all these vice presidents.

Ini apa-apaan? Masa perusahaan sampai punya 33 wakil presiden dengan gaji 200 ribu dolar per tahun! Saya kalau disuruh membaca LK perusahaannya bakal bingung setengah mampus biar jungkir balik sampai 2 bulan juga. Yang lebih bikin gemas, ternyata Teldar merugi besar 110 juta dolar tahun lalu. Gila, perusahaan rugi besar begini kok masih bisa-bisanya menggaji manajemen sampai berjuta-juta dolar! Ini benar-benar tidak masuk akal.

The new law of evolution in corporate America seems to be survival of the unfittest. Well, in my book you either do it right or you get eliminated. In the last seven deals that I've been involved with, there were 2.5 million stockholders who have made a pretax profit of 12 billion dollars. Thank you. I am not a destroyer of companies. I am a liberator of them!

Standing ovation. 

The point is, ladies and gentleman, that greed, for lack of a better word, is good. Greed is right, greed works. Greed clarifies, cuts through, and captures the essence of the evolutionary spirit. Greed, in all of its forms; greed for life, for money, for love, knowledge has marked the upward surge of mankind. And greed, you mark my words, will not only save Teldar Paper, but that other malfunctioning corporation called the USA. Thank you very much.

Gekko, you are a bastard. But you really are a magnificent bastard.

Saturday, January 18, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - Stock Selection for the Defensive Investor

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 13, dan mengacu pada Bab 14: Stock Selection for the Defensive Investor, hal 347 – 375.

Beberapa kolega saya berpendapat bahwa bab ini dan bab berikutnya adalah klimaks dari buku Intelligent Investor, karena pada bab-bab inilah Graham benar-benar menuangkan teknik seleksi sahamnya secara terperinci. Graham memulainya dengan teknik yang lebih konservatif dalam memilih saham-saham tertentu, dan ditujukan bagi para investor pasif.

Saran Graham sangat sederhana. Mulailah dari saham-saham yang tercatat pada suatu indeks tertentu, misalnya indeks Dow Jones Industrial Average atau S&P500. Kalau di Indonesia, kita bisa mulai dengan indeks LQ-45 atau JII sebagai contoh.

Setelah itu, kita bisa menerapkan tujuh syarat statistik untuk saham-saham pada indeks tersebut, yaitu:
  1. Besarnya perusahaan tersebut. Jangan berinvestasi pada perusahaan kecil. Investor pasif harus menghindari saham dari perusahaan yang kapitalisasi pasarnya kecil.
  2. Struktur keuangan yang cukup kuat. Aset lancar dari perusahaan defensif yang kuat haruslah dua kali lipat hutang lancar perusahaan tersebut. Atau dalam bahasa akuntansi, rasio lancar minimal harus sama dengan dua. Hutang jangka panjang tidak boleh melebihi net aset lancar.
  3. Stabilitas laba. Perusahaan harus terus-menerus mencetak laba selama 10 tahun terakhir.
  4. Konsistensi dividen. Perusahaan harus terus-menerus membayarkan dividen setiap tahun selama 20 tahun terakhir.
  5. Pertumbuhan laba. Perusahaan harus sudah mencetak kenaikan laba per lembar saham sebesar minimal 33% dibandingkan 10 tahun yang lalu, dengan membandingkan rata-rata tiga tahunan di awal dan akhir 10 tahun tersebut.
  6. Rasio harga terhadap laba yang relatif rendah. Harga saham tidak lebih dari 15 kali laba perusahaan pada tiga tahun terakhir.
  7. Rasio harga terhadap nilai buku yang relatif rendah. Harga saham maksimal adalah 150% nilai bukunya. Aturan ini boleh rada longgar jika rasio P/E ada di bawah 15, dengan catatan perkalian antara PER dan PBV tidak lebih dari 22.5. Angka 22.5 ini muncul dari perkalian PER x PBV = 15 x 150% = 22.5.
Tujuh syarat statistik ini cukup ketat, jadi akan sedikit sekali saham yang bisa masuk saringan para rekan. Saham-saham yang masuk pada kriteria ini biasanyanya adalah saham dari perusahaan yang nilainya stabil.

Buset, Bung Willy! Bisa setengah mati nih menyortir sahamnya satu per satu. LQ-45 saja ada 45 saham kan??

Tenang, kita kan sudah hidup di abad ke-21. Kita bisa memanfaatkan jasa stock screener yang tersedia cuma-cuma pada banyak situs finansial. Salah satu situs yang sangat baik jasa stock screener-nya adalah Financial Times, dan situs ini termasuk favorit saya dalam memilih saham-saham untuk portofolio saya. Jika para rekan tertarik menggunakan stock screener dari Financial Times, rekan Bola Salju telah mempersiapkan langkah-langkahnya secara elegan di halaman menyaring saham pilihan.

Jangan terlalu kaku juga harus 100% ikut kriteria Graham, cobalah bermain-main sedikit dengan screener tersebut sampai bisa mendapatkan pilihan saham yang sesuai dengan apa yang para rekan inginkan.

Nasihat Zwaig bahkan lebih sederhana lagi daripada Graham. Daripada repot-repot dengan tujuh syarat statistik di atas, beli saja semua saham pada indeks yang kita incar, atau untuk praktisnya ya berarti beli saja reksadana indeks yang kita incar dan simpan selama mungkin. Sekali lagi Zwaig mengingatkan bahwa RD indeks akan konsisten dengan dinamika pasar, juga dengan biaya yang relatif rendah, dan -yang paling penting- hanya perlu sedikit usaha saja dari pembelinya.

Pesan moral bab ini adalah agar investor pasif tidak sok tahu dengan berusaha di luar kemampuannya, karena itu hanya akan menambah risiko yang tidak perlu dan biaya tambahan yang berlebihan. Jika bahkan saran Graham pada tujuh syarat statistik di atas sudah terlalu berat bagi para rekan investor disini untuk mengikutinya, maka tidak ada pilihan lain. Silakan kubur mimpi anda untuk mendapat cuan besar dari investasi saham di pasar modal secara langsung, dan fokus saja berlangganan RD indeks saja untuk ke depannya.

Ulasan berikutnya adalah Bab 15: Stock Selection for the Enterprising Investor, hal 376 – 401. Selamat membaca! 

Thursday, January 16, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - A Comparison of Four Listed Companies

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 12, dan mengacu pada Bab 13: A Comparison of Four Listed Companies, hal 330 – 346.

Bab ini membahas bagaimana Graham mengevaluasi Value suatu perusahaan pada tahun 1972 sebagai contoh. Empat perusahaan Amerika yang menjadi fokus Graham adalah ELTRA (a merger of Electric Autolite and Mergenthaler Linotype enterprises), Emerson Electric (a manufacturer of electric and electronic products), Emery Air Freight (a domestic forwarder of air freight), dan Emhart Corp (originally a maker of bottling machinery only, but now also in builders’ hardware).
Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan Graham adalah:
  • Profitabilitas. Lihat profibilitas dari dekade sebelumnya.
  • Stabilitas. Bagaimana perusahaan bertahan pada tahun-tahun terberat mereka.
  • Growth. Ingat nasihat Graham pada bab sebelumnya. Jangan hanya lihat data tahun terakhir, cari tahu juga bagaimana kinerja perusahaan dari waktu ke waktu.
  • Struktur keuangan. Aset lancar harus dua kali lipat dari hutang lancar.
  • Dividen. Pembayaran dividen harus konsisten dari tahun ke tahun.
  • Harga. Untuk melihat trend harga dari waktu ke waktu.
Setelah mempertimbangkan semua hal di atas, Graham menarik kesimpulan bahwa Emerson dan Emery sudah kemahalan. Emerson memiliki potensi jangka panjang yang lebih baik, tetapi Emery hanya layak dikoleksi pada harga yang 'pantas'. ELTRA dan Emhart masih cukup murah, dan bisa dikoleksi oleh investor pasif karena memenuhi 'tujuh syarat statistik' yang akan dijabarkan Graham pada bab berikutnya.

Zwaig lalu mengulang analisis Graham pada konteks yang lebih modern pada tahun 80-an, 90-an, dan awal 2000-an. Berhubung hanya Emerson perusahaan yang masih bertahan ketika Zwaig menulis bagian komentar, Zwaig mengambil contoh tiga perusahaan lain, yaitu EMC (enables companies to automate the storage of electronic information over computer networks), Expeditor's International (helps shippers organize and track the movement of goods around the world), dan Exodus Communications (hosts and manages websites for corporate customers, along with other Internet services).

Ternyata kesimpulan Zwaig tidak jauh berbeda dengan Graham. Perusahaan yang tidak stabil di atas kertas dengan growth yang terlalu cepat memang tidak akan memberikan return investasi yang stabil!

Kasus yang sangat ekstrim ada pada perusahaan hi-tech Exodus Communication, yang tidak berkutik ketika gelembung dotcom pecah sampai akhirnya Exodus Communication jatuh terkapar menjadi sekedar saham busuk pada 2003. Sebaliknya perusahaan Emerson dengan bisnis produk rumah tangga, AC, dan motor listriknya justru terus bertahan dari zaman Graham secara konsisten, dan masih tetap berkibar dengan gagahnya ketika gelembung dotcom pecah.

Ada satu pesan moral yang tersirat dari bab ini. Value investor tidak tertarik membeli saham-saham yang paling panas pada masanya! Saham-saham ini sepintas memang sangat menjanjikan dengan return jangka pendek yang luar biasa, tetapi seringkali juga saham-saham tersebut sudah kebangetan mahalnya dan akan terjun bebas dengan sangat ekstrim (ingat BUMI?). Justru Value Investor akan cenderung mengincar perusahaan-perusahaan yang bisnisnya membosankan (Old Economy kalau dalam istilah Buffet), tetapi memiliki peluang sangat besar untuk terus bertahan sampai jauh ke depannya.

Ulasan berikutnya adalah Bab 14: Stock Selection for the Defensive Investor, hal 347 – 375. Selamat membaca!

Main Saham ala Intelligent Investor - Things to Consider About Per-Share Earnings

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 11, dan mengacu pada Bab 12: Things to Consider About Per-Share Earnings, hal 310 – 329.

Fokus pada bab ini adalah analisis laba-rugi, atau untuk lebih jelasnya lagi, analisis akan sejumlah uang yang perusahaan 'klaim' hasilkan untuk setiap lembar sahamnya. Perhatikan baik-baik bahwa saya menekankan kata 'klaim' disini.

Ada dua hal penting yang Graham tekankan disini.

Pertama, waspadalah terhadap angka laba tahunan yang dicantumkan perusahaan. Laba perusahaan pada tahun tertentu bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Misalnya bisa saja ada laba yang luar biasa besar pada tahun tertentu karena penjualan aset utama, dan yang berarti juga sebenarnya merugikan perusahaan dalam jangka panjang.

Saran Graham di sini, perhatikan pola laba perusahaan dari tahun ke tahun. Ingat, sebelumnya Graham menganjurkan membaca laporan keuangan perusahaan minimal 5 tahun ke belakang. Graham pribadi bahkan bisa membaca LK sampai 20 tahun ke belakang agar benar-benar yakin dengan emiten yang beliau incar! Pokoknya data hanya dari satu tahun saja sama sekali tidak cukup untuk menilai kinerja perusahaan.

Dan itulah nasihat kedua Graham, untuk laba jangka pendek, pastikan anda benar-benar mengerti mengapa angka labanya bisa keluar sekian. Jadi jika angka-angkanya terlihat terlalu bagus, biasanya memang mencurigakan.

Investor yang intelijen harus cermat disini. Baca benar-benar Laporan Tahunan perusahaan. Baca info terkait emiten pada situs IDX. Perhatikan keterangan-keterangan tambahan yang dicantumkan pada LK mengenai laba. Apakah keterangannya masuk akal? Apakah ada beban begini begitu yang terus menerus timbul dari waktu ke waktu? Beban begini begitu apaan, dan seberapa jauh angkanya berubah jika beban yang aneh-aneh ini tidak dimasukkan?

Zweig mengambil contoh bagaimana nasihat Graham akan analisis laba-rugi diterapkan pada perusahaan Amerika yang fundamentalnya tidak karuan. Ini adalah perusahaan-perusahaan yang sepintas bisnisnya terlihat mantap, tetapi isi laporan keuangannya bisa membuat jantungan investor yang cermat. Seandainya saja para investor tidak lugu mau saja ikut-ikutan membeli perusahaan-perusahan tersebut, tentu mereka bisa menghindari tragedi finansial dari jauh-jauh hari.

Beberapa nasihat praktis Zwaig terkait analisis laba-rugi antara lain:
  1. Baca laporan keuangan dari belakang. Hal-hal yang paling mengerikan biasanya memang sengaja ditaruh rada-rada tersembunyi pada LK. Cerita yang sebenarnya seringkali ada pada bagian terakhir dari LK, yaitu bagian Catatan atas Laporan Keuangan, oleh karena itu investor yang intelijen sebaiknya mulai membaca dari bagian ini.
  2. Baca benar-benar bagian Catatan atas Laporan Keuangan. Ironisnya, angka-angka pada bagian depan Laporan Tahunan seringkali menjadi fokus utama para investor, padahal faktanya tersembunyi jauh di belakang. Secara umum, semakin panjang dan berbelit-belit bagian Catatan atas Laporan Keuangan, semakin meragukan kinerja perusahaan tersebut.
  3. Asah keahlian anda membaca laporan keuangan. Untuk mengerti laporan keuangan suatu perusahaan, mau tidak mau seorang investor aktif harus mau dan mampu membacanya seperti layaknya seorang akuntan. Paling tidak, investor aktif harus melek prinsip akuntansi dasar. Baca-baca juga buku mengenai analisis laporan keuangan praktis biar lebih afdol.

Jadi apa pesan moral dari bab ini? Sederhana saja, jangan mudah percaya angka-angka yang tertulis pada Laporan Keuangan suatu perusahaan! Ada 1001 cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk memanipulasi angka-angka tersebut, baik secara legal maupun ilegal. Investor yang intelijen harus mau dan mampu membaca makna di balik angka-angka yang perusahaan 'klaim' tersebut, jadi jangan terlalu naif juga perusahaan akan langsung jujur menampilkan angka-angka tersebut apa adanya tanpa dipoles. Ingat, orang yang berjas dan berdasi bisa mencuri uang jauh lebih banyak daripada orang dengan pisau atau pistol.

Ulasan berikutnya adalah Bab 13: A Comparison of Four Listed Companies, hal 330 – 346. Selamat membaca!

Wednesday, January 15, 2014

Target Laba Investor Aktif di Indonesia (Bagian 2)

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Tadinya saya ingin menulis artikel tersendiri tentang target laba investasi saham pribadi, tetapi setelah saya pikir-pikir, ini sepertinya masih nyambung sama artikel saya terdahulu tentang Target Laba Investor Aktif di Indonesia.

Saya awalnya sempat membuat target investasi saham yang cukup sederhana, yaitu lebih tinggi dari return investasi saham dari Indeks. Tetapi setelah saya pikir-pikir lagi, hal ini masih terlalu abstrak. Rekan-rekan seperjuangan saya saja seperti Iyan dan Bola Salju semuanya punya target angka yang konkrit di blog mereka.

Seperti layaknya pak Bola Salju, saya suka menganggap diri sendiri sebagai seorang Value Investor modern yang progresif. Saya senang membeli saham-saham bagus yang sedang dijual murah oleh Tuan Pasar. Dan sesuai dengan ajaran Benjamin Graham, saya sebagai seorang investor aktif jelas harus bisa mencetak hasil lebih tinggi daripada investor pasif.

Saya lalu mencari tahu reksadana mana yang paling sukses di Republik Indonesia tercinta ini. Walaupun ini bisa diperdebatkan, saya mendapatkan penjelasan dari kolega di Bursa Efek Indonesia bahwa Panin Dana Maksima adalah RD yang paling konsisten performanya selama 16 tahun dengan return rata-rata 29% setiap tahun.

Saya lalu mengacu kepada return tahunan dari Lo Kheng Hong. Tidak ada yang tahu persis berapa sebenarnya return investasi saham LKH setiap tahun, tetapi dari artikel saya sebelumnya, saya memperkirakan return tahunan LKH rata-rata 69% setiap tahun.

Dengan kata lain, target konkrit saya sebagai investor aktif adalah mencapai rata-rata tahunan antara 29% sampai 69%. Kurang dari 29%, saya berarti telah membuang-buang waktu saya untuk berinvestasi saham secara pribadi, karena toh jika saya berlangganan RD PDM saja sudah dapat return 29%. Lebih dari 69%, saya akan sangat bersyukur sekali, tetapi tentu saja saya harus melihat dulu konsistensi return-nya dalam jangka panjang. 

Jika saya telah berhasil mencapai rata-rata tahunan antara 29% sampai 69%, dan konsisten dengan rata-rata tersebut sampai 10 tahun ke depan, maka saya percaya saya telah berhasil membangun sistem main saham pribadi yang tepat guna dan berhasil guna, dan juga saya telah berhasil menempatkan diri dalam jajaran elite super investor Indonesia yang selevel dengan Winston Sual dan Lo Kheng Hong. Mengapa tidak?


PS: Saya mendapat sanggahan dari rekan Parahita bahwa target saya kelewat ambisius. Sebagai perbandingan, rekan Parahita berhasil mencetak return 80% pada tahun 2012, sedangkan pada tahun 2013 return beliau drop menjadi sekedar 4% saja. Di samping itu, rekan Parahita memperkirakan kalau return tahunan rata-rata IHSG adalah sekitar 24% sampai sekarang.

Menurut saya justru sebaliknya, ini semakin memperkuat ambisi saya untuk mencapai target RATA-RATA tahunan antara 29% sampai 69%. Ini berbeda loh dengan memiliki target tahunan antara 29% sampai 69%. Jika kita mengacu kepada return tahunan rekan Parahita sebelumnya, saya TIDAK TERTARIK dengan return tahunan 80% atau 4%. Yang saya tertarik adalah return RATA-RATA rekan Parahita yang pada 2 tahun terakhir berada pada angka sekitar 37% jika menggunakan deret geometris tahunan.

Dari angka return RATA-RATA tahunan sebesar 37% itulah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa rekan Parahita masih cukup berhasil sebagai investor aktif, paling tidak dengan menggunakan target laba di antara 29% sampai 69%. Jika rekan Parahita berhasil menjaga return RATA-RATA tahunan di antara 29% sampai 69% (atau bahkan lebih!) selama 10 tahun berturut-turut, saya bahkan akan lebih jauh lagi mengakui bahwa rekan Parahita memang sudah berhasil mencapai level super investor Indonesia, tidak kalah dengan Lo Kheng Hong yang legendaris.

Terima-kasih sekali atas masukan yang sangat berarti ini dari rekan Parahita dan kawan-kawan IDX Street Investors.

Sunday, January 12, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - A General Approach to Security Analysis for the Lay Investor

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 10, dan mengacu pada Bab 11: A General Approach to Security Analysis for the Lay Investor, hal 280 - 309.

Tak terasa kita sudah mengulas separuh buku Intelligent Investor. Sungguh perjalanan yang sangat menarik setelah dipikir-pikir. Kalau dari sepuluh bab pertama kita melihat strategi Value Investing secara general, maka pada sepuluh bab kedua kita akan mengupas strategi Value Investing secara spesifik.

Saya rasa Pak Graham ingin agar kita tidak sekedar mengikuti mentah-mentah metode kuantitatif valuasi saham ala Graham, dan melupakan esensi dari Value Investing sejati. Itulah sebabnya bab-bab awal buku Intelligent Investor penuh dengan nasihat-nasihat umum bagi investor ritel, sebelum kita masuk ke detil spesifik main saham ala Value Investor.

Jadi bagaimana kita melakukan valuasi terhadap suatu saham? Menurut Graham, ada 5 hal utama yang harus kita perhatikan.
  1. Prospek jangka panjang perusahaan secara umum. Fokuslah pada laporan keuangan perusahaan. Apakah perusahaan terus tumbuh dengan mantap? Apakahan pertumbuhan ini sejalan dengan harga sahamnya? Apakah harga saham naik turun tidak karuan dan tidak sejalan dengan bisnis perusahaan? Harga boleh saja naik turun tidak karuan karena Tuan Pasar sedang kumat, asalkan bisnis perusahaan benar-benar tumbuh dengan mantap. Usahakan menganalis data yang cukup, paling tidak 5 tahun ke belakang.
  2. Kualitas manajemen. Yang ini memang susah-susah gampang. Graham memberikan contoh pentingnya faktor manajemen pada kasus Turnaround. Perusahaan jelek bisa saja berbalik bangkit lagi jika manajemen yang baru sukses melakukan perubahan. Atau bisa juga dengan melihat Laporan Tahunan perusahaan dari waktu ke waktu, dan perhatikan apakan manajemen benar-benar konsisten melaksanakan apa yang mereka rencanakan, dan juga secara terbuka membahas langkah-langkah strategis mereka. Waspadalah jika tingkah laku manajemen cenderung aneh-aneh dan tidak sejalan dengan kelangsungan bisnis perusahaan.
  3. Struktur modal dan keuangan yang sehat. Sebaiknya hutang perusahaan serendah mungkin, tetapi perhatikan juga trendnya dari waktu ke waktu. Dalam jangka panjang, hutang perusahaan haruslah konsisten rendah atau terus menurun. Ingat persamaan dasar akuntasi bahwa Aset = Liabilitas + Ekuitas. Atau dalam bahasa awam, harta perusahaan datang dari meminjam uang orang lain dan merogoh kantong sendiri. Semakin besar persentase harta yang datang dari kantong sendiri, semakin baik.
  4. Konsistensi pembagian dividen. Graham ingin perusahaan terus membagikan dividen terus-menerus selama 20 tahun terakhir(!). Perusahaan yang tidak konsisten kebijakan dividennya itu cukup mencurigakan.
  5. Dividend Payout Ratio. Semakin besar Rasio Pembayaran Dividen, semakin baik. Capital gain bukanlah target utama dari Pak Graham. Beliau lebih senang mendapatkan pemasukan yang konsisten dari dividen yang dibagikan perusahan setiap tahun.

Komentar-komentar dari Zweig lebih terkait langsung dengan dunia investasi Amerika, tetapi kita bisa mencari analoginya dengan dunia investasi Indonesia.

Untuk menganalisis prospek jangka panjang suatu emiten misalnya, kita bisa mengunduh Laporan Keuangan & Tahunan dari situs IDX atau situs emiten yang bersangkutan selama beberapa tahun ke belakang, dan biasanya ada 2 versi Laporan Tahunan yang diberikan kepada investor. Versi yang user-friendly yang penuh gambar-gambar lucu dan foto-foto menarik, dan versi serius yang seperti Laporan Keuangan betulan - karena itu memang Laporan Keuangan betulan yang dibuat dan diaudit oleh akuntan profesional.

Yang ada di situs IDX biasanya hanya yang versi serius, sedangkan yang ada di situs perusahaan bisa saja tersedia keduanya. Abaikan Laporan Tahunan yang user-friendly (saya terlalu ekstrim disini awalnya. Rekan Parahita memberi masukan agar Annual Reports juga tetap dibaca bersamaan dengan Laporan Tahunan. Penjelasan lebih lengkap ada di Post Script), silakan baca Annual Reports tersebut bersamaan dengan dan fokuslah pada Laporan Tahunan yang serius karena disitulah kita akan bisa mendapatkan data-data yang lebih komplit tanpa basa-basi untuk analisis fundamental.

Ah, Bung Willy sadis amat. Laporan Tahunan itu tebal-tebal benar loh! Bisa sampai 100 - 200 halaman. Saya mau yang versi lucu-lucunya saja, atau yang versi ringkasnya. Kan sama saja dalamnya?
 
Dan sekali lagi saya ingatkan, jika para rekan disini langsung mengeluh tidak mau memeras keringat bersusah payah membaca Laporan Keuangan yang serius, berarti anda memang tidak pantas menjadi seorang investor aktif. Silakan kubur mimpi anda di siang bolong untuk menjadi the next Warren Buffet atau Lo Kheng Hong, beli saja reksadana indeks, dan gunakan waktu luang anda untuk hal-hal yang lebih bermanfaat di luar pasar modal. Paham?

Kalau sudah paham, inilah beberapa analisis fundamental praktis yang dikemukakan Zwaig:
  • Analis laporan arus kas. Perhatikan bagaimana uang mengalir masuk dan keluar sepanjang tahun. Jika ada banyak sekali cash dari aktivitas pendanaan sedangkan cash dari aktivitas operasi terus menerus negatif, berarti ada yang tidak beres karena ini memberikan indikasi bahwa perusahaan cenderung gali lubang tutup lubang. Perusahaan yang sehat seharusnya mampu menutup biaya pengeluaran dari aktivitas operasinya (hidup murni dari bisnis), dan bukan dari aktivitas pendanaan (menerbitkan obligasi baru, right issue, dll). Ada banyak variasi analisis arus kas, tetapi intinya disini adalah bisnis harus bisa mencetak uang lebih banyak daripada menghabiskannya. Segila apa pun naik-turunnya harga saham, nilai perusahaan akan terus meningkat jika arus kas dari aktivitas operasi terus tumbuh selama bertahun-tahun.
  • Perhatikan "moat" atau keunggulan kompetitif dari perusahaan. Bayangkan moat itu sebagai parit pelindung kastil abad pertengahan. Kastil dengan moat yang baik akan sanggup bertahan dari gempuran ganas lawannya, sedangkan kastil tanpa moat tidak akan sanggup bertahan digempur lawan. Dalam dunia bisnis, moat bisa mencakup: strong brand (misalnya motor gede langsung terbayang Harley Davidson), monopoli baik secara langsung maupun praktis, kemampuan untuk menekan biaya serendah mungkin tetapi juga tetap memberikan profit margin yang cukup (misalnya pisau cukur Gillette yang relatif murah karena diproduksi massal sampai bilyunan), aset tak berwujud yang unik (ingat Coca-Cola, kalau dipikir-pikir hanya air gula kecoklatan, tetapi sanggup membangun konsumen yang setia di seluruh dunia), atau resistensi terhadap substitusi (misalnya perusahaan listrik, nyaris tidak mungkin ada sumber energi lain yang bisa menggantikan listrik ke depannya).
  • Perhatikan pendapatan dan laba tahunan dari waktu ke waktu. Perusahaan yang sehat sebaiknya terus tumbuh labanya dengan mantap, dan bukannya naik turun tidak karuan. Zwaig senang membayangkan perusahaan yang sehat sebagai pelari marathon dan bukan sprinter. Perusahaan yang growth-nya antara 10% sampai 15% cukup sustainable. Sedangkan perusahaan yang growth-nya jauh di atas 15% cenderung 'kehabisan nafas' pada tahun-tahun mendatang.
  • Perhatikan pengeluaran perusahaan untuk gaji manajemennya. Rasanya tidak masuk akal kalau perusahaan sampai kelewat bermurah hati membayar CEO-nya milyaran rupiah per tahun, belum lagi kalau sampai CEO juga sekalian dapat fasilitas rumah, mobil, tunjangan hari raya, dan lain sebagainya. Ini perusahaan untuk memperkaya investornya atau manajemennya?
Analisis Fundamental praktis
Sumber: Kontan.co.id
  • Waspada terhadap aksi korporasi yang aneh-aneh. Stock-split yang berlebih-lebihan misalnya, bisa saja tidak menguntungkan investor, tetapi lebih banyak mengundang spekulan atau bandar dalam menggoreng saham. Begitu juga dengan buy-back. OK-lah jika buy-back dilakukan ketika harga saham sedang jatuh, tetapi tidak masuk akal melakukan buy-back jika harga saham sedang tinggi-tingginya. Bisa saja ini dilakukan oleh orang dalam yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengeksekusi opsi saham pada harga yang luar biasa mahal.


Pesan moral dari bab ini sebenarnya tercantum secara implisit pada bab-bab sebelumnya. Sekedar mencari nilai wajar suatu perusahaan hanyalah satu keping kecil dari kegiatan Value Investor. Justru mereka yang kelewat menekankan pentingnya mengetahui nilai wajar suatu perusahan akan kecewa karena mereka melupakan hal-hal lain yang juga tidak kalah penting dilakukan oleh seorang investor yang intelijen. Jika para rekan masih tidak setuju, stop. Baca ulang semua bab sebelumnya sebelum kita meneruskan ulasan pada bab-bab berikutnya. Saya yakin justru bab-bab sebelumnya lebih penting dan menunjukkan semangat seorang Value Investor yang sesungguhnya.

Ulasan berikutnya adalah Bab 12: Things to Consider About Per-Share Earnings, hal 310 – 329. Selamat membaca!


PS: Saya mendapat masukan dari rekan Parahita bahwa Annual Reports dan Financial Statements sebaiknya tetap dibaca bersamaan karena bisa saja ada info-info tertentu yang bisa kita ambil dari Annual Reports. Hal-hal seperti distribusi revenue, kapasitas produksi, rencana ekspansi, dll. Yang penting disini ada framework di awal tentang tujuan analisis dan cari datanya di mana saja. Seringkali investor harus googling juga supaya lengkap infonya.

Rekan Parahita disini benar, sungguh tidak bijak mengabaikan begitu saja Annual Reports yang bisa menjadi sumber informasi tersendiri akan emiten yang kita incar. Terima kasih banyak atas kritiknya yang sangat membangun, rekan Parahita.

Friday, January 10, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - The Investor and His Advisers

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 9, dan mengacu pada Bab 10: The Investor and His Advisers, hal 257 - 279.

"Pak, buruan beli TAHU. Sahamnya lagi digoreng."

"Gak ikutan koleksi TMPE? Sudah naik 10% setelah isu tapering loh, Bu!"

"Gw baca di blog Billy the Pip kemarin Lo Kheng Hong sudah beli BUMI. Bego bener lo pada, kalo Kheng Hong saja sudah beli, kita juga jangan ketinggalan!"

Bagaimana? Apakah para rekan disini pernah mendengar hal-hal seperti di atas sepanjang karir bermain saham? Bab ini sangat menarik dan tepat sasaran menurut saya. Graham menjabarkan makna 'advisers' lebih dari sekedar pemberi nasihat finansial profesional.

Makna penasihat disini adalah seluas-luasnya, termasuk suami, istri, anak, orangtua, kerabat, sahabat, tetangga, rekan milis, teman chatting, rumor bandar, internet, kawan arisan, sopir taksi, tukang ojek, komentator, blogger, kolumnis, berita TV, kasir bank, marketer, broker, dealer, analis, sampai pemberi nasihat finansial profesional betulan.

Coba renungkan sejenak. Kita selalu mendapatkan nasihat-nasihat dan hot tips dari berbagai sumber yang kalau dipikir-pikir kebanyakan itu omong-kosong dan ngawur.

Kalau anda mencoba kritis sedikit, bahkan blog Billy the Pip yang anda baca ini cukup meragukan latar belakang penulisnya. Apa yang saya tuangkan disini adalah pemikiran saya berdasarkan bacaan-bacaan dan pengalaman investasi yang bisa jadi hanya 'sekedar' tahu sedikit saja, dan bisa jadi juga saya hanya sok tahu koar-koar berbagi dan menggurui para pembaca setia blog ini.

Anehnya, para pemain saham cenderung mencari hot tips terbaru dari mana saja, dan baik secara sadar maupun tidak sadar selalu berusaha membenarkan nasihat-nasihat tersebut. Karena itulah pada bab ini Graham mengajak para investor yang intelijen agar untuk tidak kelewat naif, dan mulai 'memakai otak'. Dengan kata lain, bagaimana kita sebaiknya memilah-milah masukan yang benar berguna dan masukan yang tidak berguna?

Ternyata saran Graham dalam menghadapi para penasihat dan berjibun hot tips-nya tidaklah rumit, dan bahkan sangat masuk akal. Investor yang intelijen akan:
  • waspada terhadap masukan apa pun. Jangan pernah langsung percaya pada siapa pun juga! Rekomendasi apa pun haruslah kita verifikasi sendiri apakah sesuai dengan gaya main saham pribadi, dan apakah sesuai dengan apa yang ada pada rencana investasi kita. Jangan pernah sekedar ikut-ikutan saja apa yang disarankan para pemberi nasihat.
  • menghindari mereka yang berkoar-koar berhasil mencetak return yang kelewat tidak masuk akal. Return main saham yang terlalu tinggi sebenarnya sangat mencurigakan. Biasanya mereka itu benar-benar ngibul, atau terlena setelah sekedar cuan besar sesaat yang biasanya tidak lagi berulang ke depannya. Orang-orang seperti inilah yang ironisnya langsung self-declare masternya main saham dan sok menggurui siapa pun bahwa cara main saham mereka itu yang paling benar. Justru sebaliknya, orang-orang macam inilah yang nasihatnya harus benar-benar diabaikan investor yang intelijen.
  • mengutamakan nasihat dari analis keuangan profesional (Chartered Financial Analyst) dari perusahaan sekuritas besar dan terpercaya. Suka tidak suka, seorang CFA profesional yang kompeten tentu saja memiliki sejumlah keunggulan seperti akses informasi langsung ke emiten-emiten tertentu yang biasanya tidak dimiliki oleh investor ritel. Masukan dari mereka bisa bermanfaat sebagai pelengkap hasil riset pribadi yang harus sudah dilakukan sendiri oleh investor ritel.
  • investor pasif justru tidak butuh lagi masukan main saham yang aneh-aneh. Ingat, investor pasif disarankan Graham untuk membatasi diri dengan mengoleksi saham-saham dari perusahaan Blue-Chips saja seperti yang sudah masuk dalam DJIA atau 'mungkin' indeks LQ-45 untuk kasus di Indonesia. Jadi kenapa harus bingung-bingung lagi?
  • memastikan penasihat mereka benar-benar konsisten memberikan masukan yang baik. Tidak peduli sehebat apa pun latar belakang sang penasihat, tetap saja masukan mereka belum tentu cocok dengan gaya main saham pribadi. Selalu kritis terhadap masukan apa pun, sampai masukan mereka terbukti konsisten menguntungkan dan sesuai dengan gaya main saham pribadi.
Zweig di sisi lain lebih menekankan kewaspadaan dalam mempertimbangkan masukan dari penasihat keuangan profesional. Dalam hal ini Zwaig bahkan lebih konservatif lagi daripada Graham. Investor yang intelijen harus selalu mengerjakan PR akan kualitas sang penasihat, tidak ada tapi-tapian. Bahkan sebaiknya google saja sekalian, bagaimana reputasi sang penasihat sebelum menerima masukan darinya.

Dengan kata lain, usahakan mencari info sebanyak mungkin akan:
  • seberapa peduli sang penasihat dalam usaha membantu kliennya,
  • seberapa dalam pemahaman sang penasihat akan prinsip-prinsip investasi yang intelijen seperti yang dijabarkan oleh Benjamin Graham,
  • seberapa tinggi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman profesional sang penasihat. Gelar profesional seperti Chartered Financial Analyst (CFA), Certified Financial Planner (CFP), atau Certified Public Accountant (CPA) merupakan nilai plus, walaupun kita juga tidak boleh lupa untuk tetap kritis di sini.


Trust the pros, but always verify.
Sumber: CFA Society Indonesia

Kuncinya disini menurut Zwaig adalah menilai seberapa besar ketertarikan sang penasihat dengan situasi keuangan pribadi sang investor. Apakah dia benar-benar mempertimbangkan anggaran para rekan untuk berinvestasi? Tujuan investasi anda? Feeling anda terhadap pasar? Aspek psikologis? Penasihat yang baik akan serius mempertimbangkan hal-hal tersebut bahkan sebelum mereka melemparkan masukan apa pun kepada anda.

Justru jika mereka tidak menanyakan hal-hal tersebut, mereka tidak benar-benar peduli apa yang akan terjadi setelah para rekan menerima masukan mereka. Waspadalah terhadap pemberi nasihat yang membahayakan investor seperti itu.

Pesan moral disini adalah selalu berhati-hati dan bersikap kritis. Ingatlah selalu bahwa alasan kita berinvestasi itu karena kita ingin mencetak profit. Kalau kita kelewat naif percaya begitu saja masukan dari orang lain, kita sebenarnya sama saja dengan mengandalkan orang lain yang seringkali tidak tahu dan tidak benar-benar peduli situasi finansial kita pribadi. Selalu ingat bahwa dunia investasi penuh dengan pemain curang, penipu, dan maling, sampai-sampai malaikat penjaga neraka akan terus sibuk sampai berpuluh-puluh tahun ke depan. Waspadalah, waspadalah!

Thursday, January 9, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - Investing in Investment Funds

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 8, dan mengacu pada Bab 9: Investing in Investment Funds, hal 226 - 256.

Bab ini akan membahas lebih dalam lagi mengenai anjuran Graham bagi para investor pasif. Para rekan masih ingat?

Aduh, apa ya?

Berlangganan reksadana saja, tidak perlu main saham secara langsung. Sudah ingat?

Oh iya. Hehehehehe....

Graham sungguh seseorang yang sangat visioner. Ketika beliau menulis bab ini, reksadana indeks sama sekali belum ada yang menjalankan sampai tahun '70-an. Reksadana secara umum sudah ada, tetapi ketika itu baru ada reksadana tradisional yang dikelola oleh fund manager profesional.

Bahkan ketika reksadana indeks Vanguard 500 -yang berusaha tracking indeks S&P 500 secara konsisten- pertama kali keluar pada tahun 1976, kebanyakan orang mentertawakan dan menganggap Vanguard Group sudah gila. Mana ada investor yang mau menanamkan modal dengan premis return yang pasti 'biasa-biasa saja' kata para analis saham di Wall Street.

Kenyataannya, aset reksadana indeks Vanguard 500 terus tumbuh secara konsisten, dan bahkan berhasil melewati reksadana Magellan pada tahun 2000.
Vanguard vs Fidelity Assets
Sumber: The Wall Street Journal

 
Asal tahu saja, reksadana Magellan adalah reksadana yang paling sukses pada masa keemasannya, dan sempat dikelola langsung oleh super investor legendaris, Peter Lynch. Pak Graham sekali lagi terbukti benar, Value Investor selalu menang dalam jangka panjang. Luar biasa!

Nah, sekarang mari kita mulai dengan merenungkan tiga pertanyaan penting sebelum berinvestasi di Reksadana manapun.
  1. Apakah ada cara yang pasti agar investor bisa meraih hasil di atas rata-rata dengan memilih RD yang tepat?
  2. Kalau tidak bisa, bagaimana agar investor tidak sampai salah pilih dan mendapat hasil di bawah rata-rata?
  3. Apakah investor bisa memilih secara cerdas dari berjibun banyaknya tipe RD yang berbeda-beda?
Secara umum, investasi saham itu memang tidak mudah. Graham percaya kebanyakan orang memang tidak akan sanggup berhasil bermain saham secara langsung, dan lebih baik mereka mempercayakan investasi saham mereka kepada fund manager profesional. Masalahnya disini, biaya-biaya yang dibebankan manajer reksadana seringkali kebangetan mahalnya jika dibandingkan dengan biaya-biaya bermain saham secara langsung.

Selain itu, reksadana tidak akan bisa menjamin return di atas rata-rata setiap saat. Malahan reksadana yang short-term gainnya terlalu besar cenderung tidak konsisten returnnya dalam jangka panjang. Ini karena RD yang super agresif cenderung melakukan aksi spekulatif berlebih-lebihan, dan ini seringkali berakhir dengan mimpi buruk bagi para investor. Di sini Graham percaya bahwa investor yang sekedar membeli reksadana berdasarkan keberhasilan performance di masa lalu adalah investor yang sangat naif dan akan kecewa dalam jangka panjang.

Zwaig disini lalu menguji hipotesis Graham dengan menggunakan data return reksadana dari tahun ke tahun, dan hasilnya cukup mengejutkan. Data Zwaig menunjukkan bahwa nyaris semua reksadana yang dikelola secara profesional memang tidak memberikan return yang di atas rata-rata dalam jangka panjang! Memang benar ada RD yang di atas kertas 'mengalahkan pasar', tetapi jika biaya-biaya reksadana juga diperhitungkan, sebenarnya sebagian besar investor tetap saja akan mendapatkan return yang lebih kecil dari rata-rata pasar.

Disinilah RD indeks memiliki keunggulan. Karena mereka adalah low-cost fund yang dirancang untuk 'sekedar' mengekor pasar, return dari RD indeks pada akhirnya akan berhasil mengalahkan return RD lainnya yang cenderung high-cost, dan itu berarti RD indeks juga berhasil mengalahkan pasar dalam jangka panjang.

Juga jangan lupa bahwa RD indeks memang cocok bagi investor pasif yang tidak bisa mededikasikan energi dan waktu untuk berinvestasi seperti layaknya investor aktif. Dengan mempercayakan permainan saham kepada profesional, investor pasif sebenarnya bisa dibilang 'membeli' waktu luang yang lebih banyak untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat di luar main saham.

Agar lebih afdol, jangan lupa untuk tetap melakukan diversifikasi. Tetap sebar portofolio para rekan dengan berlangganan RD indeks yang berbeda-beda, dan juga antara berbagai sarana investasi lainnya seperti emas, obligasi, SUN, cash, dll untuk semakin mengurangi risiko.

Nah, jadi apa pesan moral dari bab ini? Walaupun cenderung memberikan return yang membosankan, RD indeks yang secara praktis memiliki semua saham pada indeks tertentu akan berhasil mengalahkan kebanyakan RD dalam jangka panjang, dan saya bicara jangka panjang yang benar-benar panjang! Jika para rekan rajin menambahkan dana secara rutin pada RD indeks selama bertahun-tahun, peluangnya sangat besar kalau pada akhirnya para rekan investor akan mendapatkan return yang lebih baik dari profesional sekalipun. Sabar, sabar, dan sabar, dan investor pasif juga akan menang pada akhirnya.

Ulasan berikutnya adalah Bab 10: The Investor and His Advisers, hal 257 – 279. Selamat membaca!