Sunday, December 21, 2014

Main Saham ala Intelligent Investor - Convertible Issues and Warrants

[Pos ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 15, dan mengacu pada Bab 16: Convertible Issues and Warrants, hal 403 – 421.
Setelah pada 2 bab sebelumnya kita fokus kepada detail strategi main saham ala Graham bagi investor pasif dan aktif, kita akan melihat bab-bab terakhir dari buku Intelligent Investor ini sebagai penutup yang manis.

Bab-bab penutup ini dimulai Graham dengan bahasan akan obligasi konversi dan waran. Saya tidak berencana untuk berpanjang-lebar untuk bagian ini, karena Graham (dan juga Buffet) cukup pesimistis akan instrumen derivatif.
Bagi Warren Buffet, derivatif adalah instrumen yang sangat riskan
Sumber: http://www.boreme.com/posting.php?id=36638#.Vb4ChflQusA


Selain itu, saya tidak begitu yakin opini Graham relevan dengan kenyataan mengenai obligasi konversi dan waran di Indonesia. Oleh karena itu, saya akan lebih menekankan pengertian mudah dari instrumen derivatif, baru masuk ke bagian obligasi konversi dan waran.

Tunggu, Bung Willy. Sebenarnya derivatif itu apa?

Gampangnya derivatif itu ya produk turunan dari instrumen investasi utama. Menurut Wikipedia, instrumen derivatif lahir sebagai alternatif daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.

Coba para rekan renungkan, dari awal kan kalau kita perhatikan penjelasan Graham terus fokus pada obligasi dan saham. Ini karena memang Graham sangat merekomendasikan investor untuk fokus pada instrumen investasi utama saja, dan tidak perlu main-main yang tidak perlu di produk derivatif.

Ok, lalu?

Nah, obligasi konversi itu salah satu produk derivatif yang biasanya diterbitkan ketika perusahaan ingin menggalang dana dengan menerbitkan obligasi, tetapi ingin membuatnya lebih menarik ke depannya (sweetener) dan menarik lebih banyak lagi investor untuk menanamkan modalnya.

Bagaimana caranya?

Idenya disini adalah obligasi tersebut memiliki tempelan opsi untuk dikonversikan menjadi saham pada harga tertentu (dan biasanya konversi hanya bisa dilakukan pada jangka waktu tertentu, setelah itu obligasinya kembali menjadi obligasi biasa). Misalkan saya punya selembar obligasi yang bisa saya konversi menjadi 2 lembar saham. Anggaplah obligasi saya nilainya Rp10.000,-; secara teoritis tentunya saya akan dengan senang hati mengonversi obligasi saya jika harga saham berada di atas Rp5.000,-, kan? Misalkan harga saham hari ini meroket dari Rp4.800,- ke Rp.5.500,-. Saya tentunya akan menari-nari bahagia jika saham yang dijual di pasaran pada harga Rp5.500,- bisa saya peroleh dengan harga Rp5.000,- dari obligasi konversi saya.

Wah, asyik nih, Bung Willy! Kalau waran gimana??

Waran itu mirip dengan opsi konversi, cuma bedanya waran dijual terpisah dari produk utamnya. Ingat, kalau obligasi konversi tadi kan opsi konversi tersebut itu sudah built-in satu bagian dengan obligasinya, kalau waran tidak built-in. Yah, sama-sama sebagai sweetener deal gitu deh.

Kayaknya gak ada yang salah dengan konversi dan waran, Bung Willy. Lalu kenapa Graham dan Buffet sepertinya 'alergi' sama derivatif?

Permasalahannya sih bukan di konversi sama waran-nya, tetapi lebih ke tingkah laku perusahaan dalam menerbitkan produk derivatif tersebut. Kenapa perusahaan mau-maunya menerbitkan produk derivatif tersebut? Kalau dipikir-pikir rasanya perusahaan malah buntung ke depannya pas investor konversi obligasinya ke saham di harga yang menguntungkan investor (dan merugikan perusahaan kan)?

Namun yang lebih membuat Graham gemas, perusahaan bisa saja menerbitkan konversi dan waran ketika pasar sedang bullish, yang itu berarti instrumen tersebut dijual pada harga premium. Jika anda ingat kisah Tuan Pasar, ini adalah salah satu trik beliau dalam memancing investor untuk mengambil tawaran dia yang bisa saja tidak masuk akal mahalnya.

Tidak banyak yang ditambahkan Zwaig, selain masukan dari dia bahwa obligasi konversi sebaiknya memang tidak dianggap sebagai obligasi biasa. Lebih cocok kalau obligasi konversi dianggap serupa dengan saham preferen, karena memang investor akan lebih mencari peluang untuk konversi pada harga yang menguntungkan. Ini mendorong performa derivatif yang lebih condong ke pergerakan saham daripada obligasi.

Nah, akhirnya kita sampai pada pesan moral bab ini: waspadalah terhadap produk derivatif. Jika anda bermain-main  dengan produk derivatif tanpa mempertimbangkan risikonya, maka kerugian anda pun pasti akan berkali-kali lipat sakitnya. Walaupun demikian, saya pribadi beranggapan investor bukan berarti harus sepenuhnya anti sama konversi dan waran. Justru sebaliknya, jika ternyata investor bisa mendapatkan konversi dan waran pada harga yang sangat menarik murahnya, keuntungan investor pun bisa berlipat ganda. Bahkan Warren Buffet yang normalnya 'alergi' sama produk derivatif saja bisa dengan lihai mendapatkan waran dari bank besar Goldman Sachs ketika Amerika dihantam krismon 2008. Financial weapons of mass destruction, indeed.


Ulasan berikutnya adalah Bab 17: Four Extremely Instructive Case Histories, hal 422 – 445 [BELUM TERBIT]. Selamat membaca!