[Pos
ini ©2013 oleh Willy billythepip.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi
Undang-Undang.]
Ulasan
ini adalah kelanjutan dari Bab 6, dan mengacu pada Bab 7: The Positive Side to
Portfolio Policy for the Enterprising Investor, hal 155 - 187.
Bagi para pembaca setia blog ini, anda tentu
sudah melihat pola pemikiran Benjamin Graham pribadi. Beliau benar-benar
berusaha mengambil risiko yang seminimal
mungkin dalam bermain saham, sampai-sampai himbauan beliau pada bab-bab
sebelumnya terdengar keterlaluan.
“Ah, Bung Willy masih berputar-putar saja
disini. Mana strategi investor aktif
yang dijanjikan Graham?!?”
Tenang, saya selalu menepati janji. Bab ini
sepenuhnya membahas strategi yang Graham anjurkan bagi Value Investor yang
aktif, dan bersedia mengorbankan lebih banyak waktu dan energinya untuk
mendapatkan hasil yang lebih optimal. Ada 4 strategi utama yang bisa ditempuh
oleh investor aktif:
1) Belilah pas harga sedang anjlok, dan jualah pas harga sudah meroket!
Strategi ini sangat bagus di atas kertas, tetapi sering kali rada-rada susah dipraktekkan. Bagaimana kita bisa tahu harga saham saat ini memang sedang anjlok dan di saat lain sudah meroket? Zweig juga memberikan argumen lebih jauh bahwa market timing tidak selalu berhasil, dan akan selalu jauh lebih mudah melihat kapan harga saham terlihat anjlok ataupun meroket jika kita hanya sekedar melihat data masa lalu, tetapi jika untuk harga saham ke masa depan ya ujung-ujungnya kita 'nebak'. Graham akan memberikan argumentasi yang lebih mendalam akan hal ini pada bab berikutnya.
Walaupun demikian, saya pribadi percaya ada solusi untuk yang satu ini, yaitu dengan menggunakan analisis teknikal. Ketika Graham menulis buku 'Intelligent Investor', analisis teknikal belum begitu berkembang dan tidak banyak dipakai. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana analisis teknikal sudah berkembang sangat pesat, dan bisa dipelajari oleh masyarakat awam secara luas.
Hanya saja harap para rekan berhati-hati. Ada banyak sekali kombinasi aplikasi analisis teknikal, dan pengalaman saya pribadi menunjukkan bahwa semakin rumit analisis teknikal yang digunakan, justru semakin tidak akurat dan membingungkan sinyal-sinyal keluar masuk pasar yang diberikan.
2) Belilah Growth Stock pada harga yang 'masuk akal'!
Nah, sekarang ini baru seru. Tentu kita semua sangat senang jika saham-saham di portofolio kita terus meroket harganya, jadi apa anjuran utama Graham di sini? Perhatikan rasio P/E-nya! Graham hanya akan membeli Growth Stock yang masih murah, yaitu jika rasio price-to-earning-nya masih di bawah 20 untuk satu tahun terakhir, dan juga rata-rata price-to-earning-nya agar masih di bawah 25 untuk beberapa tahun terakhir. Ini untuk mencegah agar kita tidak membeli saham-saham yang sudah kelewat mahal dan menggelembung (bubble).
Strategi ini sangat bagus di atas kertas, tetapi sering kali rada-rada susah dipraktekkan. Bagaimana kita bisa tahu harga saham saat ini memang sedang anjlok dan di saat lain sudah meroket? Zweig juga memberikan argumen lebih jauh bahwa market timing tidak selalu berhasil, dan akan selalu jauh lebih mudah melihat kapan harga saham terlihat anjlok ataupun meroket jika kita hanya sekedar melihat data masa lalu, tetapi jika untuk harga saham ke masa depan ya ujung-ujungnya kita 'nebak'. Graham akan memberikan argumentasi yang lebih mendalam akan hal ini pada bab berikutnya.
Walaupun demikian, saya pribadi percaya ada solusi untuk yang satu ini, yaitu dengan menggunakan analisis teknikal. Ketika Graham menulis buku 'Intelligent Investor', analisis teknikal belum begitu berkembang dan tidak banyak dipakai. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana analisis teknikal sudah berkembang sangat pesat, dan bisa dipelajari oleh masyarakat awam secara luas.
Hanya saja harap para rekan berhati-hati. Ada banyak sekali kombinasi aplikasi analisis teknikal, dan pengalaman saya pribadi menunjukkan bahwa semakin rumit analisis teknikal yang digunakan, justru semakin tidak akurat dan membingungkan sinyal-sinyal keluar masuk pasar yang diberikan.
2) Belilah Growth Stock pada harga yang 'masuk akal'!
Nah, sekarang ini baru seru. Tentu kita semua sangat senang jika saham-saham di portofolio kita terus meroket harganya, jadi apa anjuran utama Graham di sini? Perhatikan rasio P/E-nya! Graham hanya akan membeli Growth Stock yang masih murah, yaitu jika rasio price-to-earning-nya masih di bawah 20 untuk satu tahun terakhir, dan juga rata-rata price-to-earning-nya agar masih di bawah 25 untuk beberapa tahun terakhir. Ini untuk mencegah agar kita tidak membeli saham-saham yang sudah kelewat mahal dan menggelembung (bubble).
Zweig juga menekankan bahwa Growth Stock yang layak diinvestasikan haruslah saham dari perusahaan dengan bisnis yang mantap dan tidak sekedar ikut-ikutan bubble saja. Ini untuk berjaga-jaga ketika bubble itu pecah, saham dari perusahaan dengan latar belakang bisnis yang mantap masih bisa bangkit lagi, sedangkan yang sekedar ikut-ikutan akan seterusnya jatuh dan menjadi saham busuk.
3) Belilah saham perusahaan yang bagus ketika harga sedang diobral!
Nah, inilah yang sebenarnya menjadi ciri khas seorang Value Investor! Secara umum, Value Investor tidak akan pernah mau membeli sesuatu yang sudah kelewat mahal, tetapi mereka akan benar-benar tamak ketika saham-saham perusahaan yang bagus diobral!
Graham memberikan contoh-contoh yang menarik bagaimana hal ini terjadi pada jagat dunia persahaman. Misalnya dari Dow Jones Industrial Average yang diupdate setahun sekali. Akan selalu ada saham dari DJIA yang saat itu sedang seret bisnisnya sehingga menjadi tidak populer di kalangan para investor, tetapi saham itu cenderung akan bangkit lagi ke depannya (ingat DJIA adalah indeks perusahaan bluechip terbaik di Amerika). Graham menganjurkan untuk memborong saham DJIA yang pada tahun ini sedang tergolong murah, karena biasanya saham itu akan kembali naik harganya di masa depan. Strategi ini sangat populer bagi pemain saham di Amerika, dan terkenal dengan nama strategi 'Dogs of the Dow'. Saya tidak akan heran jika strategi serupa juga sudah diadaptasikan oleh para pemain saham Indonesia, mungkin dengan fokus pada indeks LQ-45 misalnya.
4) Belilah ketika terjadi ‘sesuatu yang luar biasa’!
Secara umum Graham tidak menganjurkan para rekan untuk mengikuti sembarang berita sebagai alasan untuk membeli atau menjual, karena sungguh sulit untuk mengukur sentimen pasar terhadap harga suatu saham, dan hal ini sedikit banyak lebih bermanfaat bagi para spekulan yang ingin mendapat untung secara kilat. Akan tetapi, investor yang cerdik dapat mengambil peluang ketika terjadi sesuatu yang luar biasa sehingga suatu perusahaan bagus mendadak menjadi tidak populer sehingga jatuh harga sahamnya.
Buffet yang merupakan murid Graham adalah jagonya untuk yang satu ini. Para rekan ingat kapan Buffet memborong saham perusahaan minuman ringan Coca Cola? Itu terjadi pada tahun 1985, tepat ketika saham Coca Cola anjlok setelah produk baru New Coke gagal total diterima konsumen luas!
New Coke scandal Source: 'Time.com' |
Begitu gawatnya skandal New Coke, sampai-sampai Coca Cola dikutuki konsumen se-Amerika karena mengubah formula Coca Cola yang sudah klasik turun temurun menjadi New Coke dianggap sama saja dengan mengkhianati para pelanggan setia Coca Cola! Pada akhirnya toh Buffet menjadi orang yang tertawa paling akhir karena harga saham Coca Cola kembali meroket setelah skandal New Coke berakhir, dan beliau menikmati keuntungan yang berlipat-lipat dari saham Coca Cola sampai detik ini ketika penulis menulis kalimat ini. Sebagai tambahan kecil, Buffet sama sekali tidak memiliki rencana untuk melepas saham Coca Cola di masa depan.
Zwaig menutup bab ini dengan kembali menekankan
pentingnya diversifikasi, diversifikasi, dan diversifikasi. Investor aktif tidak
akan pernah menaruh semua telurnya di dalam satu keranjang saja. Seperti apa
pun strategi investasi yang para rekan pilih, usahakan untuk membeli
saham-saham dari berbagai industri yang berbeda, baik dari dalam maupun luar
negeri. Para rekan tentu ingat betapa mengerikan kondisi Indonesia pas krismon
1998, tetapi pada tahun yang sama justru Amerika sedang berpesta pora karena
dotcom bubble yang tidak akan berakhir sampai tahun 2000-an.
Pada akhirnya, pesan moral dari bab ini
sudah cukup jelas. Investor aktif memiliki pola pemikiran yang berlawanan dengan kebanyakan orang!
Belilah ketika semua orang panik, dan jualah ketika semua orang tamak! Strategi
yang sangat sederhana di atas kertas, tetapi hanya segelintir orang yang
sanggup melaksanakannya ketika bermain saham.
Ulasan
berikutnya adalah Bab 8: The Investor and Market Fluctuations, hal 188 – 225. Selamat membaca!